Dari sumber daya manusia (SDM) dalam organisasi yang terhitung manajemen menengah berada di bawah Direksi dan atau pimpinan organisasi sampai eselon penyelia.
Lalu, kalau tidak efektif, apakah atasan ikut bertanggung-jawab? Apakah karena manajemen tidak menghiraukan mencari umpan balik dari pelanggan atau penerima jasa baik yang terhitung yang setia atau insidentil?
Tanggapan yang terlontarkan atas keluh-kesah pelanggan atau peminta jasa, karena haknya, baik terucap maupun sambil menggerutu: “Biarkan saja keluh kesah, apalagi dalam situasi dan kondisi (sikon) dewasa ini, merekalah yang butuh produk dan atau jasa kami, dan bukan sebaliknya."
Bahkan, berbagai jawaban klise, dengan sikap muka atau bahasa tubuh tidak segar dan tidak sopan dalam pelayanan, seperti: "Kami sudah sesuai dengan apa yang kami promosikan." Atau, "Silahkan kembali menelpon atau datangi kami dalam beberapa hari lagi." Bahkan, "Kalau tidak puas silakan datangi atasan kami."
Kalau sampai keluh kesah itu muncul di surat pembaca media massa, maka sering kali ditanggapi dengan cara yang lebih seenaknya, tidak menanggapi masalah utama. Kadang-kadang tanggapannya: "Kami akan menghubungi Anda dan menjelaskan." Hal semacam ini masih terus berlangsung, seperti ada anggapan kalau sudah ada surat jawaban di media massansudah beres. Adapun pemecahan masalahnya? "Wah, itu soal lain, dan perlu ada janji lain pula."
Sebaliknya, kalau ada pelanggan yang menunda memenuhi kewajiban, seperti membayar utang, kartu kredit (credit card), maka secara ketus pihak pelayanan pelanggan langsung bersuara keras: “Kalau giliran harus bayar, walaupun sehari dua hari, jangan seenaknya menunda, apalagi kalau kami tidak menegur.”
Bahkan, ada pihak yang menugasi penagih utang (debt collector) ke rumah tinggal nasabah, yang secara seenaknya merasa berhak memaki-maki sambil berteriak-terak dan mengancam secara tidak sopan. Pertanyaan adalah "apakah para debt collector kurang berpendidikan sopan atau memang harus bersikap tidak sabar karena mewakili kepentingan yang pinjami uang (rentenir)?", dan "apakah memang demikian mutunya pelatihan mereka sebelum terjun ke lapangan?"
Mayoritas pengamat dan ahli, termasuk yang berkembang di Asia Timur, sependapat bahwa pelatihan yang meluas (extensive training) dan terjadwal dibutuhkan untuk para manajemen menengah dan penyelia (supervisors) agar benar-benar menyadari arti dan makna mutu, kesadaran bertanggung jawab, dan setiap kali setelah pelatihan merasa ada kesegaran dalam berkarya.
Ruang lingkup keterampilan dan pengetahuan senantiasa diperlukan penyegaran dan pembaruan dalam manajemen, sekalipun dalam pelaksanaannya awalnya tersendat-sendat. Hal ini biasanya berkaitan dengan motivasi, terutama di pihak manajemen menengah dan penyelia tidak menumbuhkan semangat untuk lebih baik, lebih cepat dan lebih murah (better, faster and cheaper).
Mengapa lebih murah? Murah tidak hanya dalam hitungan uang, tetapi dalam arti pengorbanan waktu yang kalau dihitung ibarat istilah "waktu adalah uang" (time is money) bagi pelanggan. Manajemen yang keliru biasanya justru lebih mementingkan asas "pelatihan bertujuan asal atasan ditakuti dan bisa dianggap berkuasa terhadap bawahan."
Bagi pihak pimpinan manajemen, maka kesadaran yang harus menjiwai pola pikir adalah perlu kesinambungan pelatihan (training). Padahal, tidak semua pelatihan itu langsung menghasilkan dampak positif. Substansi pelatihan bisa salah sasaran atau “solusi yang salah pada masalah yang tepat" (the wrong solution to the right problem). Kesalahan dalam rancangan program pelatihan yang menghasilkan serangkaian hasil yang mengecewakan dapat saja terjadi.
Lantas, apa berbagai langkah pelatihan awal dan kelanjutan yang perlu dirintis oleh manajemen puncak maupun menengah? Hal ini perlu dimulai dari manajemen puncak sendiri, apalagi yang terhitung keluarga pemilik, dengan melibatkan manajemen menengah yang terhitung inti, dan pelatihan diarahkan untuk "bagaimana memimpin pengembangan suatu lingkungan kerja baru?" Dalam arti mencari cara memperkecil sikap pandang yang otokratik.
Secara psikologik, pelatihan tersebut menumbuhkan dalam diri keterbukaan hingga tumbuh sikap mendukung dan partisipatif (bukan yang asal nurut manut saja). Mereka perlu menyadari dan memahami bagaimana pendekatan baru itu akan membantu mereka mencapai tujuan berkarya dan tujuan organisasi.
Langkah berikutnya, para manajemen menengah dan penyelia tetap memerlukan pelatihan terjadwal untuk menigkatkan kapasitas profesional etis dalam peralihan ke gaya manajemen baru. Mereka harus memahami perlunya menjalankan manajemen yang berbeda (manage differently), dan pada mereka dibekali sikap pandang dan keterampilan untuk menerapkannya.
Manajemen puncak dan manajemen menengah inti harus berinvestasi dana dan waktu dalam penyelenggaraan pelatihan, agar peserta pelatihan dalam kelompok-kelompok terjadwal tidak merasa dijadikan "korban" (victims) adanya perubahan dalam proses manajemen. Untuk itu perlu penyampaian informasi akan kebersamaan kebutuhan pelatihan yang tidak menjemukan, tidak hanya pada eselon bawahan, tetapi juga di eselon atasan.
Para penggarap pelatihan perlu memiliki keterampilan, sumber daya pengetahuan dan kemampuan untuk menggelindingkan proyek dalam jadwal tertentu, misalnya dijadwalkan sebulan sekali dalam setahun dan setiap kalinya dua jam seharinya setelah jam kerja kantor.
Peserta pelatihan dari lintas fungsional, dan sekitar 20 anggota setiap kelompoknya. Hasil dengan investasi waktu dan dana untuk hal itu dapat dinilai bila diperoleh semangat dan motivasi, yang meningkatkan kondisi kerja dan kinerja organisasi.
Hal terpenting adalah: "Mampukah dan seberapa jauhkan para pelaku manajemen menengah menghadapi tantangan ini?"
*) Bob Widiayahartoono, MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi/bisnis Asia Timur; Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara (FE Untar) Jakarta.
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010