"Walau jauh sebelum itu telah ada perjumpaan-perjumpaan peradaban antara orang Minahasa dengan kaum Eropa, tetapi secara konkret transformasi dan impertasi pencerahan itu berlangsung mulai abad 19," ujar budayawan Minahasa, Nobby Wowor mengutip seniornya Remy Silado di Jakarta, Minggu.
Ia mengatakan, hal itu mengemuka pada Forum `Mesungkulan Makasiow wo Tountembouan` (Perjumpaan Sembilan Orang Gunung) dari Tanah Minahasa Raya, Sabtu (25/09) sebuah perhelatan berkenaan dengan Hari jadi jurnalis dan penulis asal Minahasa, di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat.
"Sebelum masa itu, menurut catatan kultural yang kami dapatkan, Orang Minahasa umumnya masih banyak yang menggunakan busana `cidako` (cawat) atau dalam bahasa ibu disebut `lawat`," ungkapnya.
Proses pencerahan itu sendiri berlangsung melalui penyebaran Injil, pemberdayaan kekerabatan sosial, pendidikan, kesehatan dan tatacara pergaulan baru yang modern.
Perbincangan budaya leluhur Orang Minahasa, khususnya dari komunitas Orang Gunung (Tountemboan) yang dimoderatori Mantan Ketua Umum PP GMKI, Kenly Poluan itu, menghadirkan sembilan `pakasaan`.
Yakni, mulai dari Tumompaso-Langoan, Kumanonang dan sekitarnya, Kumawangkoan dan sekitarnya, Kiowa-Sumonder, Tumareran-Suluun dan sekitarnya, Tumpaan-Amurang-Tengah, Kumelembuay-Motoling, Pontak-Poopo-Ranoiyapo hingga Tompaso Baru-Modoinding.
Selain perbincangan di seputar pertautan kultural Orang Minahasa dengan Eropa, bahkan dengan Yahudi, forum menyorot kritis pula tentang logat, langgam dan fonologi `mother tounge` (bahasa ibu) dari kaum `Tountembouan` ini.
"Satu-satunya komunitas dari lingkup Austronesia yang punya tata bahasa unik, adalah `Tountembouan`. Ada pembagian kata kerja sesuai waktu, hampir mirip dengan Bahasa Inggris, tetapi di sini lebih sempurna," ujar Remy Silado yang kini tengah menyiapkan pentas teaterikal kolosal dan buku sastra spektakuler terbaru.
Hal senada diutarakan penelusur budaya dari Kiowa-Sumonder, Yantje Yohanes Worotitjan yang juga kini tengah menuntaskan `Kamus Tountemboan` setebal lebih 600 halaman, merujuk kepada buku `Tountemboan Sprechen` temuan JAT Riedel.
"Saya melakukan studi ke Negeri Belanda, Jepang dan Daratan Cina, juga melakukan penelusuran budaya sendiri," ujarnya.
Deklarasi Malesung
Forum itu pun semakin marak oleh kesepakatan mendeklarasikan Yayasan Malesung Indonesia (YMI) sebagai institusi utama melestarikan peradaban kultural Orang Minahasa, terutama `Tountemboan`.
"Itu kesepakatan pertama. Lalu berikutnya, rencana segera di-`launching`nya buku "Orang Manado: Mitos-Legenda-Gaya-Canda" karangan Jeffrey Rawis. Dan yang ketiga, disepakati diskusi tematis budaya bulanan di pusat YMI di Cikini, Jakarta Pusat," ujar Sekretaris Diskusi, Nobby Wowor.
Khusus peluncuran buku Orang Manado, menurut Ellen Moniung, doktor ilmu hukum yang banyak berkecimpung pula dalam penelusuran budaya Minahasa, dirancang pada bulan November atau Desember mendatang.
Sedangkan diskusi bulanan dimulai pada tanggal 10 bulan 10 tahun 2010 mendatang, dirangkai dengan perhelatan sebuah pesta adat perkawinan Tountemboan.
Kenly Poluan kemudian menyampaikan pesan khusus kepada para pihak yang berminat memberi sumbang saran, bisa menggunakan fasilitas surat elektronik via minahasa@mail.com. (M036/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010