Jakarta (ANTARA News) - Indonesia sering kali terjepit dalam posisi sulit ketika ide-ide tentang keagamaan dan kebangsaan muncul bersamaan dalam suatu diskusi.
Negeri ini telah mengukuhkan diri untuk hidup dalam lingkungan masyarakat global yang menuntut toleransi dan harmoni antarperadaban. Namun, pada saat yang sama, negeri ini dihuni oleh sejumlah kelompok puritan dan ekstrim yang kadang tidak toleran terhadap perbedaan.
Pada masa kritis seperti itu, letupan kecil saja bisa memantik kobaran amarah yang berujung pada konflik horisontal yang kadang mematikan. Pada masa seperti itu, Indonesia memerlukan organisasi multifungsi; satu organisasi puritan sekaligus toleran.
Persatuan Islam (Persis) adalah salah satu jawabannya.
Sejak awal berdiri, Persis dirancang untuk meluruskan atau memurnikan praktik keagamaan yang dianggap "bengkok" dan tercemar. Menariknya, organisasi ini menggunakan pendekatan yang terbuka dan kontekstual dalam melakukan pemurnian (purifikasi).
Pada awalnya, Persis adalah kelompok tadarusan di Bandung, Jawa Barat. Dua ulama asal Palembang, H Zamzam dan H Muhammad Yunus, adalah pemuka dari kelompok tersebut.
Kesamaan pandangan membuat sejumlah orang yang tergabung sepakat untuk melembagakan kelompok itu dalam wadah Persatuan Islam (Persis), tepatnya pada 12 September 1923.
Menurut uraian yang tertera dalam laman resminya, nama Persis dipilih sebagai cerminan cita-cita yang mereka usung, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam.
Sejak awal, Persis dirancang sebagai organisasi reformis dalam semangat rasionalitas dan kontekstualitas. Organisasi itu lahir sebagai jawaban atas kondisi umat Islam yang tenggelam dalam kemandegan berfikir, serta terperosok ke dalam kehidupan mistisisme yang berlebihan.
Dalam perkembangannya, Persis mengilhami munculnya gerakan pemurnian Islam. Dan pada titik tertentu, melalui kontak-kontak intelektual, mempengaruhi masyarakat untuk melakukan pembaruan Islam.
Organisasi ini aktif dalam gerakan pendidikan mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi, forum diskusi, dan penerbitan berbagai karya pustaka.
Tiga peradaban
Secara rutin, organisasi itu menajamkan arah dan tujuan pada tingkat nasional melalui forum muktamar. Di penghujung 2010, setiap anggota Persis kembali merapatkan diri dalam Muktamar XIV.
Sedikitnya 10 ribu pengurus, anggota, dan simpatisan Persis hadir dalam Muktamar yang dilakukan di sejumlah pesantren di Tasikmalaya dan Garut, Jawa Barat.
Muktamar tersebut secara tegas mengidentifikasi Persis sebagai agen perubahan dalam menampilkan wajah Islam sebagai rahmat untuk semua kaum. Hal itu dirumuskan dalam tema Muktamar, "Menegaskan Peran Persis dalam Menampilkan Wajah Islam sebagai Rahmatan Lil - `Alamin."
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika memberikan sambutan dalam pembukaan Muktamar tersebut menegaskan, organisasi Islam harus menjadi jembatan kesepahaman antara peradaban Islam, peradaban timur, dan peradaban barat. Poros tiga peradaban itu merupakan jalan bagi organisasi-organisasi Islam untuk mencerahkan dan mendewasakan umat.
Kepala Negara optimistis, Persis yang 87 tahun telah melakukan pembaruan akan semakin konsisten dalam memberikan kontribusi pemikiran dalam keislaman. Dakwah rasional, kata Presiden, adalah salah satu bentuk kontribusi yang bisa ditumbuhkembangkan.
Presiden Yudhoyono menegaskan, semua organisasi keagamaan harus bersatu padu untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama.
Selain itu, organisasi keagamaan hendaknya mengedepankan upaya dialog dan meninggalkan cara kekerasan dalam menyelesaikan setiap masalah. Cara kekerasan, menurut Presiden, tidak akan menyelesaikan masalah.
Presiden juga mengimbau setiap kelompok keagamaan untuk menghargai hak kelompok lain.
"Tidak ada satu kelompok pun yang bisa memaksakan kehendak kepada kelompok lain," kata Presiden menambahkan.
Presiden optimis tidak akan ada konflik antarumat beragama jika semua pihak memahami hak dan kewajiban masing-masing.
Semangat poros tiga peradaban itu menjadi konsep dasar pelaksanaan muktamar yang berlangsung tiga hari, 25-27 September 2010 itu.
Ketua Panitia Muktamar Atif Latifulhayat menyatakan, Persis berniat membuka diri dalam diskusi bersama masyarakat dunia, untuk memurnikan ajaran Islam yang toleran dan kontekstual.
Oleh karena itu, panitia sengaja merangkul tokoh dari peradaban "lain" dalam muktamar tersebut. Persis mendatangkan beberapa perwakilan beberapa negara Islam, seperti Mesir, Palestina, dan Saudi Arabia.
Yang manarik, beberapa perwakilan negara-negara "barat" seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia seiring selangkah dengan para perwakilan negara "timur" seperti Malaysia dan Singapura dalam forum tersebut.
"Persis ingin menampilkan wajah Islam yang ramah dan toleran terhadap budaya, dan Persis memiliki obsesi untuk menjembatani tiga arus peradaban besar di muka bumi saat ini, yakni Islam, Timur, dan Barat," kata Atif.
Ibarat manusia, Persis yang hampir berusia satu abad telah matang dan dewasa dalam mengusung ide pambaruan di dalam Islam.
Atif menyebutkan, niat dan komitmen Persis itu tercermin dalam empat karakteristik organisasi, yaitu gerakan pembaruan yang bersifat korektif.
Kemudian gerakan reformasi dakwah dan pemikiran yang memurnikan Islam, keseragaman dengan ide keterbukaan dan kemajuan pemikiran, serta kesetiaan terhadap gerakan dakwah dan bukan gerakan politis.
Keberadaan Persis dalam meretas poros tiga peradaban bisa membawa Indonesia keluar dari posisi sulit di tengah dilema kebangsaan dan keagamaan.
Konsep sinergi antara Islam, "timur", dan "barat" itu bisa menjadi jalan menuju Indonesia modern, tanpa kehilangan jati diri.(*)
F008/s018
Oleh F.X. Lilik Dwi Mardjianto
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010
Islam itu \'Celupan\' yg mewarnai semua peradaban.
Mendudukkan Islam sejajar dengan Barat dan Timur, kiranya malah MENGERDILKAN Islam itu sendiri!
Wallahua3lam.