Jakarta (ANTARA News) - Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Abubakar Nataprawira mengatakan, hasil survei LSM Transparency International (TI) yang menempatkan Polri sebagai lembaga yang paling banyak menerima suap pada tahun 2008 bertentangan dengan hasil survei yang dilaksanakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"KPK dua bulan lalu juga melakukan survei terhadap lembaga yang melayani publik. Menurut KPK, polisi menempati urutan ke lima. Hasilnya kok jauh berbeda," kata Abubakar di Jakarta, Kamis.
Abubakar mempertanyakan, akurasi responden TI yang diambil pada September hingga Desember 2008.
Menurut dia, jika responden memberikan suap pada periode itu maka hal itu akan menjadi masukan bagi Polri dan sah-sah saja hasilnya. Namun, jika responden itu memberikan suap dua atau tiga tahun lalu lalu maka hasil itu survei sangat diragukan.
"Kalau suapnya sudah terjadi beberapa tahun lalu responden baru ditanya TI baru pada September hingga Desember 2008, maka hal itu tidak tepat," katanya.
Ia mengatakan, sampel responden TI yang hanya mengambil pelayanan lalu lintas juga tidak seluruhnya tepat karena yang memberikan pelayanan tidak hanya polisi tapi juga pemerintah daerah.
"Ambil contoh STNK. Yang mengeluarkan STNK kan Samsat. Samsat bukan hanya polisi tapi . Ada juga Dinas Pendapatan Daerah," ujarnya.
Pengakuan responden TI yang menyebutkan bahwa untuk mengurus STNK membutuhkan dana Rp2,270 juta juga patut dipertanyakan.
"Apa mungkin, memperpanjang STNK butuh sebanyak itu. Jangan-jangan responden menggunakan jasa calo atau biro jasa. Kalau pakai calo atau biro saja, ya wajar saja jumlah uang yang diberikan lebih besar. Tapi, yang menerima uang kan calo, bukan polisi," katanya menegaskan.
Ia menegaskan, untuk mengurus STNK, masyarakat hanya butuh waktu satu hingga dua jam bahkan untuk SIM dapat selesai dalam waktu tiga jam.
"Masyarakat cukup membayar sejumlah yang ditetapkan. Tidak ada tambahan apa-apa," katanya.
Untuk itu, Polri meminta kepada masyarakat untuk ikut membantu Polri dalam melakukan pembenahan internal dengan tidak memberikan uang suap, uang terima kasih atau uang jasa kepada polisi.
"Yang memberikan suap dan menerima suap sama-sama melanggar hukum. Laporkan kepada atasan jika ada polisi yang minta uang tambahan dalam pelayanan," katanya.
Ia menegaskan, Polri terus melakukan pembenahan hingga kini dan telah banyak perwira dan bintara yang ditindak karena melakukan pungli, suap atau minta uang jasa kepada masyarakat.
Pada 1 Desember 2008, Kepala Divisi Priofesi dan Pengamanan Polri Irjen Pol Alantin Simanjuntak mengatakan, Polri membebastugaskan lima bintara karena melakukan pungli di Cawang, Bundaran HI dan Patung Pemuda.
Mabes Polri juga mencopot lima perwira menengah termasuk Direktur Lalu Lintas Polda Jambi karena diduga terlibat pungli di kantor Samsat.
TI dalam melakukan survei menggunakan 3.841 responden yang berasal dari pelaku bisnis (2.371 responden), tokoh masyarakat (396 responden) dan pejabat publik (1.074 responden).
Indeks suap polisi adalah 48 persen, bea dan cukai 41 persen, kantor imigrasi 34 persen, Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya 33 persen, pemerintah daerah/kota 33 persen dan Badan Pertanahan Nasional 32 persen.
Selain itu, institusi publik lainnya yang diukur adalah Pelabuhan Indonesia 30 persen, pengadilan 30 persen, Departemen Hukum dan HAM 21 persen, Angkasa Pura 21 persen, Pajak Daerah 17 persen, Departemen Kesehatan 15 persen, Pajak Nasional 14 persen, Badan Pengawas Obat dan Makanan 14 persen dan Majelis Ulama Indonesia 10 persen. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009