"Dari reformasi sampai sekarang tidak ada lagi tes seperti itu," kata dia saat mengunjungi Kantor Berita ANTARA di Jakarta, Jumat.
Selama 20 tahun terakhir, Bima tidak mengetahui persis alasan tes tersebut tidak pernah dilakukan namun bisa jadi karena euforia reformasi.
Baca juga: BKN: Tujuan TWK untuk ketahui keyakinan dan keterlibatan bernegara
Secara pribadi ia mengaku pernah menjalani serangkaian TWK namun yang ditanyakan lebih kepada komunisme bukan radikalisme.
"Karena pada zaman itu yang dilarang memang komunisme, leninisme, dan marxisme," kata Bima.
Sekarang hal-hal yang dilarang serta bertentangan dengan Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 juga masih ada sebagai contoh radikalisme.
Ia mengatakan dari TWK yang mengacu pada instrumen indeks moderasi bernegara tersebut, pemerintah mengharapkan lahirnya aparatur sipil negara (ASN) yang berintegritas.
Baca juga: Nurul Ghufron bantah tidak tahu penggagas ide TWK
Integritas yang dimaksud adalah sikap-sikap ASN selaras dengan norma-norma, etika berbangsa, dan bernegara, katanya.
Dengan kemajemukan yang ada di Tanah Air, kata dia, maka seorang ASN dituntut untuk tetap netral karena sebagai abdi negara akan berhadapan langsung dengan suku, agama, budaya, ras, dan golongan berbeda-beda.
Dari tes wawasan kebangsaan itu, katanya, para asesor akan mengetahui apakah seorang calon ASN memiliki karakter antiradikalisme atau tidak.
Baca juga: KPK turut beri penjelasan tertulis kepada Komnas HAM terkait TWK
"Jadi inilah yang dites dengan indeks moderasi bernegara yang memang dibuat khusus untuk itu," ujarnya.
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2021