Baghdad (ANTARA News/AFP) - Lima orang, termasuk empat anak laki-laki, tewas dalam kekerasan di Baghdad, Kamis, kata seorang pejabat kementerian dalam negeri.
Ledakan bom menghantam mobil Anwar Taher Ridha, seorang pekerja di kantor Perdana Menteri Nuri al-Maliki, di daerah Baghdad pusat, Zayouna, sekitar pukul 18.00 (pukul 22.00 WIB).
Pejabat itu mengatakan, masih belum jelas apakah ledakan itu berasal dari "bom tempel" magnetis yang dipasang di mobilnya atau dari bom pinggir jalan.
Dua anak Ridha dan dua anak saudaranya tewas dalam ledakan itu, yang juga mencederai Ridha, istrinya dan dua orang lain.
Keempat anak laki-laki yang tewas itu masih berusia di bawah 10 tahun.
Sementara itu, sejumlah orang bersenjata menembak mati seorang kolonel angkatan darat Irak dan melukai istrinya di daerah pinggiran Baghdad utara, kata pejabat itu.
Dalam insiden lain, tiga roket menghantam daerah selatan Jadriya namun tidak ada korban, kata polisi.
Kekerasan itu terjadi hanya beberapa pekan setelah berakhirnya operasi tempur AS di Irak pada 31 Agustus.
Penarikan pasukan Amerika dilakukan bertepatan waktunya dengan meningkatnya serangan bom mobil dan penembakan yang ditujukan pada pasukan Irak yang mengambil alih tanggung jawab keamanan dari pasukan AS sejak 2009.
Ratusan orang tewas dalam gelombang kekerasan terakhir, termasuk sejumlah besar polisi Irak, namun AS tetap melanjutkan penarikan pasukan dari negara itu.
Meski kekerasan tidak seperti pada 2006-2007 ketika konflik sektarian berkobar mengiringi kekerasan anti-AS, sekitar 300 orang tewas setiap bulan tahun ini, dan Juli merupakan tahun paling mematikan sejak Mei 2008.
Militer AS menyelesaikan penarikan pasukan secara besar-besaran pada akhir Agustus, yang diumumkannya sebagai akhir dari misi tempur di Irak, dan setelah penarikan itu jumlah prajurit AS di Irak menjadi sekitar 50.000.
Penarikan brigade tempur terakhir AS dipuji sebagai momen simbolis bagi keberadaan kontroversial AS di Irak, lebih dari tujuh tahun setelah invasi untuk mendongkel Saddam.
Namun, pasukan AS terus melakukan operasi gabungan dengan pasukan Irak dan gerilyawan Kurdi Peshmerga di provinsi-provinsi Diyala, Nineveh dan Kirkuk dengan pengaturan keamanan bersama di luar misi reguler militer AS di Irak.
Para pejabat AS dan Irak telah memperingatkan bahaya peningkatan serangan ketika negosiasi mengenai pembentukan pemerintah baru Irak tersendat-sendat, lebih dari empat bulan setelah pemilihan umum parlemen di negara itu.
Jumlah warga sipil yang tewas dalam pemboman dan kekerasan lain pada Juli naik menjadi 396 dari 204 pada bulan sebelumnya, menurut data pemerintah Irak.
Sebanyak 284 orang -- 204 warga sipil, 50 polisi dan 30 prajurit -- tewas pada Juni, kata kementerian-kementerian kesehatan, pertahanan dan dalam negeri di Baghdad kepada AFP.
Menurut data pemerintah, 337 orang tewas dalam kekerasan pada Mei.
Kekerasan di Irak mencapai puncaknya antara 2005 dan 2007, kemudian menurun tajam, dan serangan-serangan terakhir itu menandai terjadinya peningkatan.
Hampir 400 orang tewas dan lebih dari 1.000 lain cedera tahun lalu dalam serangan-serangan bom terkoordinasi di sejumlah gedung pemerintah, termasuk kementerian-kementerian keuangan, luar negeri dan kehakiman pada Agustus, Oktober dan Desember.
Pemilihan umum pada 7 Maret tidak menghasilkan pemenang yang jelas dan bisa memperdalam perpecahan sektarian di Irak, yang menimbulkan kekhawatiran mengenai peningkatan kekerasan ketika para politikus berusaha berebut posisi dalam pemerintah koalisi yang baru.
Rangkaian serangan dan pemboman sejak pasukan AS ditarik dari kota-kota di Irak pada akhir Juni 2009 telah menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan pasukan keamanan Irak untuk melindungi penduduk dari serangan-serangan gerilya seperti kelompok militan Sunni Al-Qaeda.
Gerilyawan yang terkait dengan Al-Qaeda kini tampaknya menantang prajurit dan polisi Irak ketika AS mengurangi jumlah pasukan menjadi 50.000 prajurit pada 1 September 2010, dari sekitar 170.000 pada puncaknya tiga tahun lalu. (M014/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010