Banda Aceh, 23/9 (ANTARA) - Kaukus Partai Politik untuk Demokrasi menyesalkan kinerja Mahkamah Konstitusi (MK) karena terkesan diskriminatif menyidangkan perkara yudisial review.
Sekretaris Kaukus Partai Politik untuk Demokrasi Rahmat Djailani di Banda Aceh, Kamis mengatakan, hal itu terlihat ketika MK mendahulukan perkara lain ketimbang menyidangkan uji materi pasal 256 UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
"Seperti gugatan Yusril Ihza Mahendra yang belakangan didaftarkan daripada uji materi pasal 256 UUPA. Namun, MK lebih dulu menyidangkan perkara tersebut," katanya.
Permohonan yudisial review pasal 256 tersebut didaftarkan ke MK pada 31 Mei 2010. Pasal tersebut mengatur ketentuan calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah di Provinsi Aceh.
Sidang uji materi pasal 256 UUPA dengan nomor perkara 35/PUU-VIII/2010 tersebut baru sekali digelar oleh MK, yakni pada 16 Juni 2010.
Sementara, Yusril Ihza Mahendra mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung, khususnya penafsiran pasal 19 dan pasal 22 pada pertengahan Juli 2010.
MK akhirnya memutuskan memenangkan gugatan pasal 22 1 UU Nomor 16 tahun 2004 yang menyebutkan masa jabatan jaksa agung berakhir setelah selesainya masa jabatan presiden.
Terkait masalah itu, Rahmat Djailani mempertanyakan independensi MK yang menganut prinsip murah dan cepat dalam menyelesaikan sebuah perkara.
"Kami akan menyampaikan protes atas kinerja MK tersebut karena hingga kini belum melanjutkan persidangan uji materi pasal 256 UUPA," katanya.
Politisi Partai Rakyat Aceh (PRA), partai lokal di Aceh, itu menduga belum jelasnya jadwal persidangan uji materi karena disinyalir ada intervensi kelompok politik dominan di provinsi ujung sumatra tersebut.
"Kalau intervensi ini terbukti, maka independensi MK sebagai salah satu lembaga tinggi negara layak diragukan, padahal banyak orang di Aceh menunggu keputusan MK," katanya.
Ia mengatakan, pasal tersebut diujimaterikan karena menutup peluang kalangan perseorangan mencalonkan diri sebagai kepala daerah, baik gubernur maupun bupati dan wali kota di Provinsi Aceh lewat jalur independen.
Pasal tersebut hanya mengamanatkan pencalonan lewat jalur perseorangan hanya berlaku untuk pemilihan pertama kali sejak UUPA diundangkan, yakni 11 Desember 2006.
Pemilihan gubernur dan wakil gubernur, maupun bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota diperkirakan digelar di Provinsi Aceh akhir 2011.
"Padahal, kran calon perseorangan di provinsi lain sudah dibuka. Sementara, Aceh yang pertama memperbolehkan calon independen maju pada Pilkada, kini sudah tidak diperkenankan lagi," sebut dia.
Ia menyebutkan, yudisial review pasal 256 UUPA tersebut harus diputuskan secepatnya, mengingat DPR Aceh akan membahas rancangan qanun pemilihan kepala daerah.
Jika hingga akhir tahun 2010 tidak ada keputusan atau MK menolak permohonan uji materi, maka pasal mengatur calon perseorangan tidak dimasukkan dalam rancangan qanun.
Oleh karena itu, ia mengharapkan MK segera melanjutkan persidangan uji materi pasal 256 UUPA, sehingga memberi kepastian kepada masyarakat Aceh soal pencalonan perseorangan.
"Keputusan MK terkait pasal 256 merupakan jawaban bagi rakyat Aceh yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah, apakah lewat jalur parpol ataupun perseorangan," kata Rahmat Djailani.
(T.KR-HSA*BDA1/H011/P003)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010