Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia (BI) mempertahankan BI rate berada pada level 6,50 persen sejak Agustus 2009 sehingga posisi itu bertahan sudah lebih dari setahun.

Data yang dihimpun dari situs BI di Jakarta, Kamis menyebutkan, BI rate mencapai posisi 9,50 persen pada Oktober 2008. Pada November 2008, BI mempertahankan BI rate pada posisi 9,50 persen.

BI rate mulai turun pada Desember 2008 menjadi 9,25 persen, Januari 2009 sebesar 8,75 persen, Februari 2009 sebesar 8,25 persen, Maret 2009 sebesar 7,75 persen, April 2009 sebesar 7,50 persen, Mei 2009 sebesar 7,25 persen, Juni 2009 sebesar 7,00 persen, Juli 2009 sebesar 6,75 persen, dan mulai Agustus 2009 sebesar 6,50 persen.

BI rate kemungkinan masih akan bertahan di posisi 6,50 persen dalam beberapa waktu ke depan.

Deputi Gubernur BI, Hartadi A Sarwono menyatakan bahwa kebijakan menaikkan BI rate dalam kondisi saat ini hanya akan menambah besarnya likuiditas di pasar sehingga BI menghindari kebijakan tersebut.

"Menaikkan BI rate akan mengattrack (menarik) masuknya capital inflow sehingga pada akhirnya juga menambah likuiditas di pasar sehingga hanya akan berputar-putar saja di situ," kata Hartadi.

Menurut Hartadi, saat ini Indonesia menghadapi masalah kelebihan likuiditas sebagai dampak dari berbagai kebijakan yang ditempuh ketika menghadapi ancaman dampak krisis global 2008.

Ketika itu BI menempuh kebijakan menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) dari efektif 9,0 persen menjadi 5,0 persen. Selain itu pemerintah juga melaksanakan kebijakan memberikan stimulus fiskal tambahan yang juga menambah likuiditas di pasar.

BI juga menempuh kebijakan mengakumulasi cadangan devisa untuk mengantisipasi kemungkinan buruk yang mungkin terjadi sebagai dampak krisis global.

Kebijakan akumulasi cadangan devisa mendorong jumlah cadangan devisa mengalami peningkatan cukup besar dari jumlah pada 2008 sebesar sekitar 50 miliar dolar AS menjadi saat ini lebih dari 83 miliar dolar AS.

Kebijakan akumulasi cadangan devisa ini juga memerlukan sterilisasi karena BI harus mengeluarkan Rupiah untuk membeli dolar AS. Rupiah yang keluar ini menyebabkan likuiditas di pasar juga bertambah besar.

"Ada tambahan cadangan devisa hingga sekitar 33 miliar dolar AS. Anda bisa membayangkan berapa besar tambahan likuiditas ketika BI mengeluarkan rupiah untuk membeli dolar," kata Hartadi.

Menurut dia, membanjirnya likuiditas itu harus dinormalkan kembali apalagi dengan adanya tekanan inflasi yang melebihi perkiraan/target saat ini.

Ia menyebutkan, kebijakan BI untuk menormalkan likuiditas itu tidak dilakukan dengan menaikkan BI rate seperti yang disarankan oleh Dana Moneter Internasional (IMF).
(A039/B010)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010