PBB (ANTARA News/Reuters) - Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon mendesak pengendalian diri di wilayah sengketa Kashmir, yang sedang menghadapi pergolakan terbesar kemerdekaan dalam lebih dari 20 tahun, kata PBB, Rabu.
"Ia (Ban) menyerukan ketenangan dan pengendalian diri semua pihak yang terkait," kata juru bicara PBB Martin Nesirky kepada wartawan.
Nesirky mengatakan bahwa Ban "menyesalkan kematian-kematian terakhir... (dan) menyerukan diakhirinya segera kekerasan dan mendesak semua pihak yang terkait tenang dan mengendalikan diri".
Lebih dari 100 orang tewas dalam bentrokan selama protes sejak Juni. Kashmir, wilayah berpenduduk mayoritas muslim yang menjadi perselisihan antara India dan Pakistan, lumpuh akibat protes, pemogokan dan jam malam. Sekolah, perguruan tinggi dan tempat usaha tutup, sementara makanan dan obat sulit ditemukan.
Pada akhir Juli, seorang juru bicara PBB mengatakan kepada sejumlah wartawan Pakistan yang ditempatkan di PBB, Ban "khawatir atas situasi keamanan yang ada" dan mendesak pengendalian diri. Pernyataan itu menimbulkan protes dari India, negara berkembang yang berpengaruh secara politis dan salah satu pendukung utama pasukan penjaga perdamaian PBB di dunia.
Nesirky kemudian menyatakan, penjelasan kepada media yang dikeluarkan kantornya telah disalahtafsirkan, namun ia tidak memberikan penjelasan lebih lanjut.
Demonstrasi anti-India meningkat tajam di Kashmir India sejak seorang remaja laki-laki yang berusia 17 tahun tewas setelah terkena tembakan gas air mata polisi pada 11 Juni.
Setiap kematian sejak 11 Juni menyulut kekerasan lebih lanjut meski telah ada seruan agar tenang dari Menteri Besar Kashmir Omar Abdullah. Pemuda dan remaja seringkali termasuk diantara demonstran yang melemparkan batu ke arah pasukan keamanan selama pawai.
Separatis Kashmir mengadakan pawai secara rutin, yang seringkali berbuntut kekerasan, sejak 2008. Banyak pemrotes tewas dalam pawai sejak itu, sebagian besar akibat tembakan polisi.
Kekerasan di Kashmir turun setelah India dan Pakistan meluncurkan proses perdamaian yang bergerak lambat untuk menyelesaikan masa depan wilayah tersebut.
Perbatasan de fakto memisahkan Kashmir antara India dan Pakistan, dua negara berkekuatan nuklir yang mengklaim secara keseluruhan wilayah itu.
Dua dari tiga perang antara kedua negara itu meletus karena masalah Kashmir, satu-satunya negara bagian yang berpenduduk mayoritas muslim di India yang penduduknya beragama Hindu.
Lebih dari 47.000 orang -- warga sipil, militan dan aparat keamanan -- tewas dalam pemberontakan muslim di Kashmir India sejak akhir 1980-an.
Pejuang Kashmir menginginkan kemerdekaan wilayah itu dari India atau penggabungannya dengan Pakistan yang penduduknya beragama Islam.
New Delhi menuduh Islamabad membantu dan melatih pejuang Kashmir India. Pakistan membantah tuduhan itu namun mengakui memberikan dukungan moral dan diplomatik bagi perjuangan rakyat Kashmir untuk menentukan nasib mereka sendiri.
Serangan-serangan pada 2008 di Mumbai, ibukota finansial dan hiburan India, telah memperburuk hubungan antara India dan Pakistan.
New Delhi menghentikan dialog dengan Islamabad yang dimulai pada 2004 setelah serangan-serangan Mumbai pada November 2008 yang menewaskan lebih dari 166 orang.
India menyatakan memiliki bukti bahwa "badan-badan resmi" di Pakistan terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan serangan-serangan itu -- tampaknya menunjuk pada badan intelijen dan militer Pakistan. Islamabad membantah tuduhan tersebut.
Sejumlah pejabat India menuduh serangan itu dilakukan oleh kelompok dukungan Pakistan, Lashkar-e-Taiba, yang memerangi kekuasaan India di Kashmir dan terkenal karena serangan terhadap parlemen India pada 2001. Namun, juru bicara Lashkar membantah terlibat dalam serangan tersebut.
India mengatakan bahwa seluruh 10 orang bersenjata yang melakukan serangan itu datang dari Pakistan. New Delhi telah memberi Islamabad daftar 20 tersangka teroris dan menuntut penangkapan serta ekstradisi mereka. (M014/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010