keputusan menjual 70 persen produksi ladang gas Donggi-Senoro ke pasar luar
negeri membuat Indonesia rugi Rp14 triliun per tahun dibanding jika menggunakan
seluruhnya untuk kebutuhan domestik.
"Hitungan kasarnya kita menjual minyak yang diproduksi Rp4.000 per liter tetapi
membeli Rp8.000 per liter dari luar negeri, sama saja kita selalu rugi dan
kerugian itu terus terjadi selama kebijakan itu dijalankan," katanya kepada
ANTARA di Jakarta, Rabu.
Ia menjelaskan, optimalisasi gas di dalam negeri dapat mengurangi subsidi BBM
dan beban keuangan negara, dan penghematan itu bisa dialihkan untuk pembangunan
terminal gas di dalam negeri dan infrastruktur jaringan pipa gas ke
daerah-daerah sehingga perusahaan dalam negeri dan rumah tangga bisa menikmati
energi gas dengan harga murah.
"Saya sudah katakan lima tahun lalu, bahkan kita perlu perkuat infrastruktur
untuk jaringan gas karena pasar dalam negeri pasti akan bisa menyerap semua
produksi gas yang ada," katanya.
Ia memperkirakan, penguatan infrastruktur jaringan gas di dalam negeri
membutuhkan dana 10 miliar dolar Rp90 triliun dan itu lebih baik daripada kita
terus memakai kebijakan yang jelas-jelas membuat Indonesia dirugikan.
"Jika satu tahun rugi Rp14 triliun maka 15 tahun kontrak Donggi-Senoro kita rugi
Rp210 triliun," katanya.
Sementara pengamat migas lain Kurtubi menyayangkan pemerintah yang tidak
memiliki konsep keamanan energi nasional yang sesuai Pasal 33 Undang-undang
Dasar (UUD) 1945 yaitu digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran.
"Keputusan penjualan gas Donggi-Senoro itu jelas berpotensi mengurangi atau
menghilangkan pendapatan negara, bahkan rakyat harus menanggung harga energi
yang tinggi sementara dijual ke luar dengan harga murah," katanya.
Sebelumnya mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengaku prihatin karena keputusan
Pemerintah melalui Menteri ESDM tentang Donnggi-Senoro yang justru tidak
mencerminkan kebijakan membela kepentingan nasional.
"Sebelumnya Presiden SBY setuju dengan kebijakan mayoritas gas Donggi-Senoro
untuk domestik, tetapi hasil akhirnya justru terbalik karena lebih banyak yang
dieskspor," katanya.
Kalla meminta Pemerintah menghentikan kebijakan mengeskpor batubara dan migas
sebanyak-banyaknya karena lambat laun industri di dalam negeri juga membutuhkan
sumber energi yang murah. (*)
(T.B013/B012/R009)
Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010