Kementerian Perdagangan sebaiknya meninjau kembali atau mengevaluasi secara menyeluruh terhadap NTM yang ada dengan mengidentifikasi keuntungan atau kerugian tiap NTM serta menghapus hambatan yang memiliki biaya tinggi.

Jakarta (ANTARA) - Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta merekomendasikan tiga hal untuk meminimalkan dampak negatif dari kebijakan hambatan non-tarif atau non-tariff measures (NTM), yang pertama adalah perlunya evaluasi menyeluruh terhadap NTM yang ada.

"Kementerian Perdagangan sebaiknya meninjau kembali atau mengevaluasi secara menyeluruh terhadap NTM yang ada dengan mengidentifikasi keuntungan atau kerugian tiap NTM serta menghapus hambatan yang memiliki biaya tinggi," kata Felippa pada seminar web bertajuk 'Peningkatan Daya Saing Industri Makanan dan Minuman lewat Penyederhanaan Kebijakan Non-tarif' di Jakarta, Kamis.

Rekomendasi kedua yakni bersama dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan juga sebaiknya mempertimbangkan penguatan infrastruktur serta sistem untuk menekan biaya kepatuhan.

"Terakhir, Kementerian Perdagangan sebaiknya menggantikan sistem kuota impor dengan sistem perizinan impor otomatis yang akan dapat mendorong transparansi, kepastian dan kemudahan perdagangan," ujar Felippa.

Baca juga: ASEAN perkuat kerja sama dengan AS, Korea, dan Jepang pada forum SEOM

Menurut Felippa, NTM memengaruhi perkembangan industri makanan dan minuman (mamin) di Indonesia yang juga berdampak pada perekonomian Indonesia, karena industri mamin berkontribusi sebesar 6,25 persen terhadap PDB Indonesia pada 2018.

Meningkatnya jumlah NTM di Indonesia dan mitra dagangnya membatasi akses perusahaan ke pasar global dan dapat mengurangi produktivitas dan daya saing mereka.

"NTM dapat memengaruhi perusahaan dan industri dalam dua cara, yaitu dengan meningkatkan biaya input atau dengan menerapkan langkah-langkah saat mengekspor ke negara lain. Mereka membebankan biaya tambahan untuk bisnis melalui biaya penegakan, biaya sumber, dan biaya adaptasi proses, demikian temuan penelitian CIPS," papar Felippa.

Di sisi input, lanjutnya, industri makanan dan minuman (mamin) masih mengimpor bahan baku karena produksi komoditas dalam negeri seringkali tidak mencukupi kuantitas dan kualitas untuk diproses.

Misalnya gandum, bahan utama mie instan, hampir 100 persen bersumber dari impor karena belum bisa ditanam secara optimal di Indonesia.

Baca juga: Sejahterakan petani, Kemendag percepat implementasi sistem resi gudang

Meski Indonesia masuk lima besar produsen cokelat dunia, produsen cokelat di Indonesia juga harus mengandalkan biji kakao impor karena rendahnya kualitas biji kakao Indonesia.

Terlepas dari kelangkaan bahan baku untuk keperluan industri, perusahaan juga dinilai perlu melalui proses perizinan impor yang rumit dan menunggu pelepasan kuota impor oleh kementerian terkait, termasuk Kementerian Perindustrian.

"Ia menambahkan, banyak NTM yang dikenakan pada bahan pangan dan pertanian untuk keperluan industri, seperti dalam kasus gula, dimaksudkan untuk mendorong keterkaitan ke belakang dengan ekonomi dalam negeri, untuk memprioritaskan produksi dalam negeri, dan untuk meningkatkan nilai tambah dalam negeri. Namun dampaknya seringkali tidak efektif,” pungkas Felippa.

Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021