Yogyakarta (ANTARA News) - Peneliti perikanan asal Institut Pertanian Bogor Prof.Dr Ari Purbayanto menyatakan, pengembangan budi daya ikan dan udang secara organik di Indonesia tergolong terlambat.

"Pengembangan budi daya ikan dan udang secara organik di Indonesia baru dimulai pada 2006, di beberapa negara Asia Tenggara lainnya seperti Vietnam, budi daya secara organik telah dikembangkan jauh lebih lama," katanya saat menjadi pembicara lokakarya `Pengembangan Pertanian dan Perikanan Organik terpadu di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta`, di Yogyakarta, Selasa.

Ia mengatakan, pengembangan budi daya ikan dan udang secara organik tergolong terlambat jika melihat antusiasme masyarakat dunia untuk mengonsumsi makanan organik yang cenderung meningkat.

"Kesulitan yang dihadapi adalah kita tidak dapat mengubah pola budi daya nonorganik menjadi budi daya organik dengan cepat dan sporadis," katanya.

Menurut dia pengembangan budi daya ikan dan udang organik secara sporadis justru akan dikhawatirkan membawa dampak buruk seperti perluasan hama.

"Kita tidak dapat mengubah pola budi daya secara drastis, tetapi harus ada pemetaan untuk kalangan tertentu, setidaknya kita terlebih dulu mempromosikan keunggulan budi daya organik kepada petani dan masyarakat," katanya.

Ia mengatakan, saat ini kebutuhan pangan organik masyarakat menunjukkan adanya peningkatan meskipun masih terbatas pada kalangan tertentu.

"Untuk itu perlu adanya standar terukur bagi budi daya ikan dan udang organik melalui sertifikasi organik," katanya.

Dengan adanya sertifikasi organik, menurut Ari, petani organik dapat melakukan budi daya menurut standar yang disepakati bersama.

"Sertifikasi juga dapat meyakinkan sekaligus melindungi konsumen dari produk organik palsu, sehingga konsumen akan mendapatkan jaminan bahwa produk yang dikonsumsi memiliki kandungan gizi yang diinginkan," katanya.

Dengan demikian, kata dia, petani pun dapat mendapatkan keuntungan dari nilai jual produk organik yang tergolong lebih tinggi dibanding dengan produk nonorganik.
(ANT158/S025)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010