Palu (ANTARA News) - Empat buah film dokumenter tentang nilai-nilai kemanusiaan dan kritik sosial karya sineas muda Sulawesi Tengah dalam sepekan ini ditayangkan di lima kabupaten/kota melalui layar tancap.

Pemutaran perdana dimulai Minggu malam di Taman Budaya Palu dihadiri ratusan penonton dari masyarakat umum, akademisi, pejabat daerah dan mahasiswa.

"Setelah ini kami `roadshow` ke Kabupaten Parigi Moutong, Poso, Ampana, Luwuk dan Bungku," kata David, Direktur Jalin, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang seni dan budaya di Palu, Minggu.

Pemutaran film itu akan berakhir 29 September mendatang di Bungku, Kabupaten Morowali.

Empat film tersebut adalah "Senandung Ikan Baru" sutradara Nurhuda dan Wahdania. "Serupa Tapi Tak Sama" sutradara Dewi Yanti. "Tadulako Mild" sutradara Nur Shoima Ulfa, dan "Menambang di Piring Petani" yang disutradarai Syafaat Ladanu.

Menurut David, empat film dokumenter tersebut diangkat dari 30 ide yang dibahas melalui workshop. Ide dengan konten lokal itu dibahas secara mendalam dengan berbagai pendekatan perspektif. Setelah diseleksi melalui tiga kali workshop, diputuskanlah empat ide cerita yang menarik lalu difilmkan.

"Penggarapannya kami mulai April 2010. Syukurlah karena adanya bantuan dari In-Docs Jakarta dan Rumah Ide Makassar sehingga film ini bisa diselesaikan," katanya.

Chandra Tanzil, Direktur In-Docs mengatakan, karya film yang masuk nominasi tersebut digarap melalui wordshop dengan beberapa tahapan yakni penggarapan ide cerita, penyutradaraan, pengambilan gambar dan editing.

"Tahap penggarapan ide cerita agak berat, butuh waktu berhari-hari bahkan bulanan untuk merampungkan ide cerita yang menarik," kata Chandra.

Film "Senandung Ikan Baru" yang sutradarai Nurhuda dan Wahdania, mengangkat ide cerita anak nelayan di Kabupaten Parigi Moutong yang putus sekolah. Kehidupan nelayan yang susah membiayai pendidikan anak-anaknya. Hingga membeli buku pun susah sehingga mengakibatkan anak mereka putus sekolah di tingkat sekolah dasar.

"Kondisi ini diperburuk dengan tradisi bahwa dengan melaut anak-anak gampang dapat uang sehingga sekolah kadang terbengkalai," kata sutradara, Nurhuda.

Film nonfiksi itu juga menceritakan kesulitan nelayan mengongkosi uang pembangunan sekolah yang dibebankan ke orang tua murid. Tidak sedikit orang tua membayar dengan cara menyicil.

Untuk menggarap film ini, Nurhuda dan Wahdania berhari-hari bahkan bermalam di rumah nelayan guna merekam seluruh aktivitas nelayan itu.

"Pengambilan gambarnya sampai di laut pada malam hari," katanya.

Film lainnya "Serupa Tapi Tak Sama" mengangkat ide cerita penyandang anak cacat. Seorang ibu rumah tangga dengan gigih dan tulus memelihara dan mendidik anaknya yang cacat. Semangat seorang ibu dan karakternya tergambar jelas dalam film itu.

"Memelihara anak yang cacat dengan tulus dan ikhlas balasannya adalah surga. Jangan pernah malu punya anak cacat," pesan Mama Yana, ibu kandung penyandang cacat.

Dewi Yanti selaku sutradara film ini mengatakan, untuk menemukan karakter yang sebenarnya bagi orang tua dan anak penyandang cacat ia harus sabar menunggu bahkan bergaul dan menyatu dengan keluarga mereka.
(T.A055/B/I007/I007)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010