Alasan majelis banding mengurangi vonis Pinangki karena yang bersangkutan telah mengaku bersalah, menyesali perbuatannya, dan mengikhlaskan dipecat dari profesinya sebagai jaksa.
Jakarta (ANTARA) - Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) RI Miko Ginting menyebut lembaganya hanya punya kewenangan untuk menganalisis putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, termasuk dalam perkara jaksa Pinangki Sirna Malasari.
"Undang-undang yang ada saat ini memberikan kewenangan bagi KY untuk menganalisis putusan yang telah berkekuatan hukum tetap untuk rekomendasi mutasi hakim," kata Miko di Jakarta, Selasa.
Miko menyampaikan hal tersebut terkait dengan putusan majelis banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memotong hukuman jaksa Pinangki Sirna Malasari dari 10 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara dalam kasus penerimaan suap, pemufakatan jahat, dan pencucian uang.
"Putusan yang dianalisis harus sudah berkekuatan hukum tetap dan tujuannya untuk kepentingan rekomendasi mutasi," ungkap Miko.
Dengan basis peraturan perundang-undangan saat ini, menurut Miko, KY tidak diberikan kewenangan untuk menilai benar atau tidaknya suatu putusan.
Baca juga: PT Jakarta potong hukuman jaksa Pinangki jadi empat tahun penjara
"Namun, KY berwenang apabila terdapat pelanggaran perilaku dari hakim, termasuk dalam memeriksa dan memutus suatu perkara," ungkap Miko.
Terkait dengan keresahan publik terhadap putusan tersebut, menurut dia, sebenarnya bisa dituangkan dalam bentuk eksaminasi publik oleh perguruan tinggi dan akademisi.
"Dari situ, dapat diperoleh analisis yang cukup objektif dan menyasar pada rekomendasi kebijakan. Sekali lagi, peraturan perundang-undangan memberikan batasan bagi KY untuk tidak menilai benar atau tidaknya suatu putusan. KY hanya berwenang apabila terdapat dugaan pelanggaran perilaku hakim," kata Miko menjelaskan.
Majelis banding PT Jakarta yang diketuai oleh Muhammad Yusuf dengan hakim anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Renny Halida Ilham Malik pada tanggal 14 Juni 2021 mengorting putusan jaksa Pinangki Sirna Malasari menjadi 4 tahun dan denda sebesar Rp600 juta dengan ketentuan bila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan.
Putusan banding tersebut memotong vonis majelis hakim tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 8 Februari 2021 menjatuhkan vonis 10 tahun penjara ditambah denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan.
Alasan majelis banding mengurangi vonis Pinangki tersebut adalah karena majelis menilai Pinangki telah mengaku bersalah dan mengatakan menyesali perbuatannya serta telah mengikhlaskan dipecat dari profesinya sebagai jaksa.
"Oleh karena itu, ia masih dapat diharapkan akan berprilaku sebagai warga masyarakat yang baik. Bahwa terdakwa adalah seorang ibu dari anaknya yang masih balita (berusia 4 tahun) layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhannya," kata hakim dalam putusan banding tersebut.
Baca juga: Pinangki ajukan banding terhadap vonis 10 tahun penjara
Pertimbangan lain adalah Pinangki sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil.
"Bahwa perbuatan terdakwa tidak terlepas dari keterlibatan pihak lain yang turut bertanggung jawab sehingga kadar kesalahannya memengaruhi putusan ini. Bahwa tuntutan pidana jaksa/penuntut umum selaku pemegang asas dominus litis yang mewakili negara dan pemerintah dianggap telah mencerminkan rasa keadilan masyarakat," kata hakim.
Terkait dengan putusan banding tersebut, panasihat hukum Pinangki, Aldres Napitupulu, mengatakan bahwa kliennya tetap yakin tidak bersalah.
"Kalau dari sisi Pinangki 'kan posisinya menganggap tidak bersalah, ya, kami berpatokan sesuai dengan pembelaan kami Pinangki tidak bersalah," kata Aldres.
Namun, Aldres juga belum berkomunikasi langsung dengan kliennya tersebut terkait dengan putusan banding.
"Saya belum sempet bertemu dengan Pinangki. Rencana kalau mau ketemu, saya kasih tahu karena semua keputusan ada pada beliau sebagai klien, saya pasti tanya dahulu dia," kata Aldres.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021