"Saya jualannya selepas Isya sampai Subuh bahkan hingga matahari mulai menyengat jika banyak pembeli," kata Sutikno, lelaki kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah, tahun 1966 di pelataran parkir Pelabuhan Bakauheni, Lampung.

Ia yang datang sendiri ke pelabuhan di ujung Selatan Sumatera itu dengan meninggalkan istri dan kedua anaknya, mencoba mengais rezeki dengan berdagang asongan berupa minuman dan makanan kecil menggunakan kotak dari kardus yang mudah dijinjingnya.

Dengan mengenakan kaos lengan pendek berwarna biru dan celana panjang hitam, dia yang tinggal di salah satu bilik kontrakan tak jauh dari pelabuhan itu, terus menembus malam mencari pembeli terutama sopir truk yang antre menaiki kapal.

Dia memilih berdagang di waktu malam karena untuk mengurangi persaingan dengan pedagang lain.

"Kalau rezeki lagi ada semalam bisa membawa pulang Rp50 ribu," kata dia sambil mengaduk kopi instan pesanan salah seorang sopir truk dari Bengkulu yang membawa hasil pertanian.

Dia mengaku sudah empat lebaran atau empat tahun berada di Pelabuhan Bakauheni untuk mencari rezeki, namun sewaktu-waktu pulang terutama menjelang Idul Fitri dan ketika mulai musim tanam.

"Kemarin pulang ke kampung untuk `macul`. Kebetulan lagi mau musim tanam sekaligus lebaran. Tetapi pada lebaran ke tiga langsung ke sini lagi," kata dia.

Soal modal untuk berdagang, Tikno-sapaan akrabnya, mengaku awalnya mengambil dari pihak lain namun setelah dipelajari banyak sekali keuntungan yang hilang karena harus disetorkan ke pemilik modal.

"Saya mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk modal. Ternyata, setelah itu bisa berkembang. Sehingga tidak diburu-buru untuk mencari keuntungan lebih guna membayar ke pemilik modal lain," katanya.

Dengan penghasilan rata-rata Rp50 ribu per malam, ia pun bisa menabung untuk dikirimkan ke keluarganya di Purwokerto.

"Pengiriman uang yang harus yakni awal bulan untuk kebutuhan sehari-hari serta menjelang anak bayaran sekolah," kata dia.

Apalagi anaknya yang nomor dua masih duduk di bangku kelas dua SMA, sedangkan anaknya yang sulung sudah lulus dari STM.

"Sekarang anak saya yang besar sedang mencari kerja. Saya pun meminta dia untuk bekerja apa pun asalkan halal dan disukainya," ujar dia.

Tikno pun mengakui memasuki lebaran tahun ini terjadi penurunan penghasilan, hal itu pun disebabkan banyaknya kapal ro-ro yang melayani penyeberangan dari Bakauheni ke Merak.

"Sehingga tidak ada lagi penumpang yang harus menunggu kapal. Padahal, ketika banyak penumpang yang menanti kapal, itu adalah pangsa pasar kami sebagai pedagang asongan ini," katanya.

Sedangkan untuk menjaga ketertiban dan kebersihan di wilayah pelabuhan tersebut, ia mengaku mengikuti peraturan yang ada, serta membawa kantong plastik untuk mengumpulkan sampah yang dihasilkan dari penjualannya.

Lelaki yang mulai terlihat kerutan kulitnya terutama di tangan dan dahinya itu pun menginginkan segera mengakhiri menjadi pedagang asongan setelah anaknya selesai menyelesaikan studi dan mendapatkan pekerjaan.

"Saya ingin kembali ke kampung bersama istri dan hidup sebagai petani," kata dia lagi. (T013/K004)

Oleh Oleh Triono Subagyo
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010