"Ini adalah sesuatu kekeliruan," kata dia di Jakarta, Senin.
Pertama, yang dimatikan Mahkamah Konstitusi adalah delik biasa padahal yang disusun pemerintah dan DPR RI terkait penghinaan Presiden dan Wakil Presiden adalah delik aduan.
Baca juga: Wamenkumham: RKUHP penting untuk segera disahkan
Kedua, ada yang beranggapan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden tidak perlu ada, namun cukup dimasukkan kedalam pasal penghinaan atau pencemaran nama baik secara umum sebagaimana yang ada dalam pasal 310 sampai 321 KUHP.
Ia berpandangan jika pasal-pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dihapus dan dimasukkan kedalam pasal penghinaan secara umum, maka sebaiknya pasal tentang makar dihapus.
"Toh makar itu adalah pembunuhan terhadap Presiden dan Wakil Presiden," kata Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada tersebut.
Oleh sebab itu, katanya, perlu diketahui bahwa Presiden merupakan simbol negara dan personifikasi dari suatu negara sehingga perlu diatur secara khusus.
Baca juga: Mahfud MD: Pemerintah upayakan susun RKUHP yang resultante demokratis
Secara umum isu tentang KUHP materi muatannya hampir sama di seluruh dunia kecuali tiga hal. Pertama, mengenai delik politik. Dalam KUHP Indonesia sama sekali tidak ada BAB yang berjudul delik politik hal itu berbeda dengan Prancis yang memiliki delik politik.
Kedua, yang menjadi perbedaan antara satu negara dengan negara lain adalah menyangkut kesusilaan. Dalam KUHP China tidak ada satu BAB yang tertulis kejahatan terhadap kesusilaan.
Terakhir adalah masalah penghinaan atau pencemaran nama baik. Antara satu negara dengan yang lain akan berbeda. Jadi jika berbicara mengenai penghinaan terhadap Presiden maka tidak bisa membandingkannya dengan negara lain.
Baca juga: Anggota DPR sarankan RKUHP tidak perlu dibahas sejak awal
"Kita sedang membuat KUHP Indonesia yang multikultural, multietnis, dan multireligi, bukan KUHP Prancis, Amerika Serikat, dan lain sebagainya," katanya.
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2021