Srinagar, India (ANTARA News/AFP) - Tokoh separatis Kashmir hari Kamis mendesak pemrotes melakukan aksi duduk massal di kamp-kamp militer dan polisi, dalam tantangan baru terhadap pasukan keamanan yang sedang berusaha memulihkan ketertiban.
"Saya mendesak masyarakat melakukan protes duduk damai di depan kamp-kamp militer dan pasukan keamanan di Kashmir," kata Syed Ali Geelani, yang memelopori protes dalam tiga bulan terakhir, kepada wartawan di Srinagar.
Aksi baru itu, jenis protes pertama sejak demonstrasi massal meletus pada Juni, akan dimulai Selasa mendatang, kata pemimpin garis keras berusia 81 tahun itu, yang menetapkan kalender protes yang sejauh ini diikuti oleh pendukungnya.
"Protes pada 21 September akan dilakukan secara damai, dimana orang akan meneriakkan slogan-slogan seperti "Enyah India, Kembali!`," kata Geelani, dengan menambahkan bahwa petisi juga akan diserahkan kepada para pejabat militer untuk mendesak mereka meninggalkan Kashmir.
Juru bicara militer J.S. Brar mengecam prakarsa baru itu, yang disampaikan setelah pertemuan perwira pasukan keamanan senior yang menyatakan telah merumuskan sebuah strategi baru untuk mengatasi kerusuhan.
"Ini upaya yang disengaja untuk melibatkan militer dalam pergolakan yang terus berlangsung dan mengalihkan mereka dari peranan utama mereka," katanya kepada wartawan, dengan menambahkan bahwa protes itu bertujuan "mencegah pergerakan konvoi militer".
"Militer meminta sungguh-sungguh kepada masyarakat agar tidak terhasut oleh pemimpin-pemimpin separatis dan tidak menghadapi garnisun atau kendaraan militer," kata Brar.
Lebih dari 90 pemrotes anti-India tewas ditembak oleh polisi dalam tiga bulan terakhir di wilayah Himalaya yang disengketakan itu, dan pemerintah dikecam dalam cara mereka menangani krisis tersebut.
Demonstrasi anti-India meningkat tajam di Kashmir sejak seorang remaja laki-laki yang berusia 17 tahun tewas setelah terkena tembakan gas air mata polisi pada 11 Juni.
Setiap kematian sejak 11 Juni menyulut kekerasan lebih lanjut meski telah ada seruan agar tenang dari Menteri Besar Kashmir Omar Abdullah. Pemuda dan remaja seringkali termasuk diantara demonstran yang melemparkan batu ke arah pasukan keamanan selama pawai.
Separatis Kashmir mengadakan pawai secara rutin, yang seringkali berbuntut kekerasan, sejak 2008. Banyak pemrotes tewas dalam pawai sejak itu, sebagian besar akibat tembakan polisi.
Kekerasan di Kashmir turun setelah India dan Pakistan meluncurkan proses perdamaian yang bergerak lambat untuk menyelesaikan masa depan wilayah tersebut.
Perbatasan de fakto memisahkan Kashmir antara India dan Pakistan, dua negara berkekuatan nuklir yang mengklaim secara keseluruhan wilayah itu.
Dua dari tiga perang antara kedua negara itu meletus karena masalah Kashmir, satu-satunya negara bagian yang berpenduduk mayoritas muslim di India yang penduduknya beragama Hindu.
Lebih dari 47.000 orang -- warga sipil, militan dan aparat keamanan -- tewas dalam pemberontakan muslim di Kashmir India sejak akhir 1980-an.
Pejuang Kashmir menginginkan kemerdekaan wilayah itu dari India atau penggabungannya dengan Pakistan yang penduduknya beragama Islam.
New Delhi menuduh Islamabad membantu dan melatih pejuang Kashmir India. Pakistan membantah tuduhan itu namun mengakui memberikan dukungan moral dan diplomatik bagi perjuangan rakyat Kashmir untuk menentukan nasib mereka sendiri. (M014/K004)
"Saya mendesak masyarakat melakukan protes duduk damai di depan kamp-kamp militer dan pasukan keamanan di Kashmir," kata Syed Ali Geelani, yang memelopori protes dalam tiga bulan terakhir, kepada wartawan di Srinagar.
Aksi baru itu, jenis protes pertama sejak demonstrasi massal meletus pada Juni, akan dimulai Selasa mendatang, kata pemimpin garis keras berusia 81 tahun itu, yang menetapkan kalender protes yang sejauh ini diikuti oleh pendukungnya.
"Protes pada 21 September akan dilakukan secara damai, dimana orang akan meneriakkan slogan-slogan seperti "Enyah India, Kembali!`," kata Geelani, dengan menambahkan bahwa petisi juga akan diserahkan kepada para pejabat militer untuk mendesak mereka meninggalkan Kashmir.
Juru bicara militer J.S. Brar mengecam prakarsa baru itu, yang disampaikan setelah pertemuan perwira pasukan keamanan senior yang menyatakan telah merumuskan sebuah strategi baru untuk mengatasi kerusuhan.
"Ini upaya yang disengaja untuk melibatkan militer dalam pergolakan yang terus berlangsung dan mengalihkan mereka dari peranan utama mereka," katanya kepada wartawan, dengan menambahkan bahwa protes itu bertujuan "mencegah pergerakan konvoi militer".
"Militer meminta sungguh-sungguh kepada masyarakat agar tidak terhasut oleh pemimpin-pemimpin separatis dan tidak menghadapi garnisun atau kendaraan militer," kata Brar.
Lebih dari 90 pemrotes anti-India tewas ditembak oleh polisi dalam tiga bulan terakhir di wilayah Himalaya yang disengketakan itu, dan pemerintah dikecam dalam cara mereka menangani krisis tersebut.
Demonstrasi anti-India meningkat tajam di Kashmir sejak seorang remaja laki-laki yang berusia 17 tahun tewas setelah terkena tembakan gas air mata polisi pada 11 Juni.
Setiap kematian sejak 11 Juni menyulut kekerasan lebih lanjut meski telah ada seruan agar tenang dari Menteri Besar Kashmir Omar Abdullah. Pemuda dan remaja seringkali termasuk diantara demonstran yang melemparkan batu ke arah pasukan keamanan selama pawai.
Separatis Kashmir mengadakan pawai secara rutin, yang seringkali berbuntut kekerasan, sejak 2008. Banyak pemrotes tewas dalam pawai sejak itu, sebagian besar akibat tembakan polisi.
Kekerasan di Kashmir turun setelah India dan Pakistan meluncurkan proses perdamaian yang bergerak lambat untuk menyelesaikan masa depan wilayah tersebut.
Perbatasan de fakto memisahkan Kashmir antara India dan Pakistan, dua negara berkekuatan nuklir yang mengklaim secara keseluruhan wilayah itu.
Dua dari tiga perang antara kedua negara itu meletus karena masalah Kashmir, satu-satunya negara bagian yang berpenduduk mayoritas muslim di India yang penduduknya beragama Hindu.
Lebih dari 47.000 orang -- warga sipil, militan dan aparat keamanan -- tewas dalam pemberontakan muslim di Kashmir India sejak akhir 1980-an.
Pejuang Kashmir menginginkan kemerdekaan wilayah itu dari India atau penggabungannya dengan Pakistan yang penduduknya beragama Islam.
New Delhi menuduh Islamabad membantu dan melatih pejuang Kashmir India. Pakistan membantah tuduhan itu namun mengakui memberikan dukungan moral dan diplomatik bagi perjuangan rakyat Kashmir untuk menentukan nasib mereka sendiri. (M014/K004)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010