Kupang (ANTARA News) - Pengamat hukum internasional dari Universitas Nusa Cendana Kupang Wilhelmus Wetan Songa SH.MHum, berpendapat sebagian besar diplomat Indonesia saat ini, terbentur masalah masih gaya kepemimpinan, sehingga dalam berbagai percaturan politik internasional soal kedaulatan bangsa selalu gagal.
"Kepemimpinan ini penting, karena sebagian besar nasional dan internasional berkaitan erat dengan faktor kepemimpinan. Dengan kepemimpinan yang baik, maka krisis, konflik bahkan sengketa tapa batas sekalipun dapat diselesaikan. Karena itu, faktor kepemimpinan bisa menjadi kunci sukses aau penyebab kegagalan," katanya di Kupang, Rabu.
"Hanya dengan sosok kepemimpinan yang matang, kompleks dan multi-dimensional, bukan sekedar pemimpin yang pandai berbicara lantang dan sanggup membakar emosi lawan bicaranya, lalu lupa menyesuaikan diri dengan situasi dan keadaan yang telah terjadi dan tengah dihadapi untuk mencapai keberhasilan," katanya.
Ia mengatakan hal ini menanggapi kiprah Indonesia dalam diplomasi internasional setelah jamannya para diplomat ulung yang piawai seperti Muhammad Hatta, Adam Malik, Muchtar Koesoemaatmadja dan Ali Alatas sebagai menteri luar negeri.
Pada era ini, katanya posisi Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata oleh dunia internasional, karena kepemimpinan negara dan bangsa saat itu dibawah kendali Soekarno dan Soeharto yang terkenal tegas dan memilih diplomat yang memiliki kapasitas dan kapabilitas dengan gaya kepemimpinan berkarakter.
Karena kepemimpinan yang berkarakter akan terpancar lewat gaya lobi yang yahud dan mempuni, dan hasil akhirnya adalah pengakuan terhadap teritorial baik darat, laut dan udara oleh dunia internasional dan dengan demikian berbagai gangguan, ancaman bahkan klaim-mengklaim terhadap kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) jauh dari dan bahkan tidak ada sama sekali.
Ia menyebut konfrontasi Indonesia-Malaysia atau yang lebih dikenal sebagai Konfrontasi saja adalah sebuah perang mengenai masa depan Malaya, Brunei, Sabah dan Sarawak yang terjadi antara Federasi Malaysia dan Indonesia pada tahun 1962-1966.
"Perang ini berawal dari keinginan Federasi Malaya lebih dikenali sebagai Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1961 untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak kedalam Federasi Malaysia yang tidak sesuai dengan perjanjian Manila Accord ," katanya.
Keinginan tersebut katanya ditentang oleh Presiden Soekarno yang menganggap pembentukan Federasi Malaysia yang sekarang dikenal sebagai Malaysia sebagai "boneka Inggris" merupakan kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk baru serta dukungan terhadap berbagai gangguan keamanan dalam negeri dan pemberontakan di Indonesia, sehingga perlu ditentang dengan ajakan Ganyang Malaysia.
"Inilah satu salah contoh bagaimana "political will" atau kemauan politik pemerintah juga ikut memberi andil terhadap kepiawaian para diplomat dalam memaikan perannya di dunia internasional, ketika kedaulatan bangsanya diganggu pihak asing," katanya.
Wetang Songa yang juga dosen hukum internasional pada Fakultas Hukum Undana Kupang ini mengatakan tidak bermaksud ingin menyamakan gaya dan kepemimpinan dahulu dan sekarang, karena situasi dan perkembangan zaman pun ikut menentukan sepak terjang setiap pemimpin.
Ini tidak berarti semua orang terlahir sebagai pemimpinan apalagi memiliki kepemimpinan yang berkharisma, seperti Presiden Thoba Mbeki, yang dalam dunia diplomasi dijuluki "Foreign policy presiden" atau tipe presiden yang mempunyai perhatian besar terhadap dunia internasional dan memegang kendali diplomasi.
Namun paling kurang, duta besar yang dipercayai tidak sekedar untuk mengisi jabatan kedutaan besar yang sedang lowong, tetapi benar-benar seorang diplomat ulung dan sejati dan memiliki kepemimpinan yang "go internasional" dengan semangat nasionalisme yang terukur dan teruji dalam berbagai kanca perpolitikan internasional.
Tujuannya adalah kepentingan Indonesia membela kepentingan Indonesia di mata dunia internasional dan mencegah klaim dan bahkan penguasaan terhadap wilayah perbatasan antara Indonesia-Malaysia, Singapura, Australia, Timor Leste yang menggantung hingga saat ini terpenuhi. (ANT/K004)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010