Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Gerindra Himmatul Aliyah mengatakan wacana pajak pertambahan nilai (PPN) untuk jasa pendidikan berpotensi menambah angka putus sekolah di Tanah Air.
“Pengenaan pajak pada sektor pendidikan di tengah pandemi akan menambah tinggi angka putus sekolah. Pandemi yang masih berlangsung telah menurunkan ketahanan ekonomi masyarakat sehingga banyak siswa dari berbagai daerah di Indonesia mengalami putus sekolah,” ujar Himmatul di Jakarta, Jumat.
Dia menambahkan pengenaan pajak pendidikan bisa menambah tinggi angka putus sekolah sehingga menurunkan angka partisipasi sekolah di Indonesia. Kondisi demikian tentu paradoks dengan visi pemerintah sendiri, yakni mewujudkan SDM unggul untuk Indonesia maju.
Baca juga: Legislator : Biaya pendidikan berpotensi meningkat jika dikenakan PPN
Selain itu, pengenaan pajak pada sektor pendidikan akan membuat biaya pendidikan meningkat sehingga akan membebani masyarakat.
“Hal ini tentu akan menciptakan ketidakadilan karena pendidikan semakin tidak terjangkau oleh masyarakat. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Disebutkan dalam UU tersebut bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan dan pendidikan diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan dan tidak diskriminatif,” terang dia.
Rencana pemerintah mengenakan pajak di sektor pendidikan membuat masyarakat yang dijamin haknya justru dibebankan kewajiban, dan pemerintah yang berkewajiban membiayai tapi justru memungut biaya pendidikan dari rakyat.
“Ini tentu tidak etis sekaligus tidak konstitusional. Jadi jika rencana tersebut diberlakukan dan UU disahkan akan rawan digugat di Mahkamah Konstitusi,” tegas dia.
Baca juga: Pemerintah diminta cari alternatif lain tingkatkan rasio pajak
Pertimbangan matang
Presidium Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) Andy Soebjakto mengatakan upaya menambah objek pajak harus dilakukan dengan pertimbangan yang sangat matang. Andy mengakui pemerintah membutuhkan tambahan sumber pajak bagi kepentingan penyehatan APBN dan keberlangsungan pembangunan adalah perihal yang dapat dipahami oleh publik dan patut didukung.
“Upaya-upaya menambah obyek pajak harus dilakukan dengan pertimbangan yang sangat matang, terutama menyangkut kondisi perekonomian dan keadaan kehidupan rakyat sehari-hari. Filosofi dasarnya adalah "pajak untuk rakyat" bukan "rakyat untuk pajak”,” kata Andy.
Rencana pengenaan PPN untuk sembako adalah adalah kebijakan yang tidak bijak dan tidak tepat. Bukan saja akan menambah beban hidup rakyat, tetapi juga akan menurunkan kredibilitas pemerintah di mata rakyat. Sembako adalah salah satu yang terpokok dari nafas hidup rakyat. Jika dikenakan PPN, nafas rakyat bisa tersengal-sengal.
“Rencana pengenaan PPN untuk sekolah juga tidak bijak dan tidak tepat. Dengan pengenaan PPN, beban sekolah akan digeser menjadi beban orang tua siswa. Artinya jelas akan menambah beban pendidikan bagi rakyat. Pada sisi yang lain, kebijakan tersebut akan mendorong makin derasnya komersialisasi pendidikan yang pada akhirnya akan meningkatkan ketimpangan akses siswa terhadap sekolah-sekolah yang bermutu,” cetus Andy.
PPI mendesak agar rencana pengenaan PPN terhadap sembako dan sekolah tersebut dibatalkan.
“Keselamatan kehidupan rakyat haruslah diutamakan. Setidak-tidaknya tidak diberi tambahan beban di masa-masa sulit seperti sekarang ini,” imbuh Andy.*
Baca juga: P2G nilai PPN jasa pendidikan membuka komersialisasi pendidikan
Baca juga: CIPS: PPN pendidikan kontraproduktif terhadap upaya pemulihan ekonomi
Baca juga: Menteri PPN sebut manfaat anggaran pendidikan belum maksimal
Pewarta: Indriani
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2021