Jakarta (ANTARA) - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai penerbitan Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2021 yang mencabut bidang usaha minuman beralkohol (minol) atau minuman keras (miras) dari daftar investasi positif kurang tepat dilakukan.

"Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) merasa kurang tepat jika pemerintah beranggapan bahwa aturan investasi minuman beralkohol yang semula masuk ke daftar positif investasi serta merta melonggarkan pembatasan konsumsi maupun distribusi minuman beralkohol," kata Peneliti CIPS Pingkan Audrine Kosijungan dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.

Pingkan mengatakan sudah ada berbagai aturan baik di pusat maupun di daerah yang membatasi konsumsi maupun peredaran minuman beralkohol.

Pembatasan tersebut sudah diatur oleh pemerintah pusat melalui Peraturan Presiden No. 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol dan juga Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, Dan Penjualan Minuman Beralkohol beserta perubahan-perubahannya, termasuk Permendag No. 25 Tahun 2019.

Di tingkat daerah juga ada kebijakan yang diambil oleh masing-masing kepala daerah berkenaan dengan cakupan pembatasannya.

Sejak diundangkan pada Februari, Perpres No. 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang merupakan peraturan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja, memang telah menuai kritikan dari beragam kalangan masyarakat karena pada Lampiran III mengenai Bidang Usaha dengan Persyaratan Khusus, bidang usaha minuman beralkohol termasuk ke dalam 46 bidang usaha yang dibuka dengan persyaratan tertentu.

"Pantauan kami di CIPS menemukan bahwa alasan dari pihak yang kontra terhadap kebijakan pembukaan investasi bagi minuman beralkohol ini kebanyakan berlandaskan pada asas moralitas dan ketentuan hukum agama yang melarang konsumsi minuman beralkohol dikarenakan haram," katanya.

Padahal, lanjutnya, Perpres Nomor 10 tahun 2021 mengatur mengenai investasi bagi produksi minuman beralkohol utamanya di daerah-daerah yang memang memiliki potensi untuk mengembangkan minuman tradisional yang dimiliki seperti di Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT,) dan Bali.

Pemerintah, menurut Pingkan, semestinya sudah mengantisipasi kemungkinan yang terjadi dari keputusan yang diambil sebelum suatu aturan itu dikeluarkan.

"Pemerintah perlu dengan seksama mempertimbangkan banyak aspek dalam mengambil keputusan dan mengkomunikasikannya dengan transparan dan akuntabel kepada masyarakat," katanya.

Pingkan mengatakan, tidak bisa dipungkiri bahwa minuman beralkohol merupakan komoditas yang sensitif bagi negara dengan mayoritas pemeluk agama Islam.

"Namun, kita juga tidak boleh mengabaikan fakta bahwa Indonesia adalah negara hukum dan bahkan untuk komoditas minuman beralkohol juga menjadi salah satu bagian dari ritual keagamaan yang diakui di Indonesia. Daerah di mana tadinya investasi usaha produksi minol diperbolehkan juga merupakan daerah dengan mayoritas penduduk non-muslim," katanya.

Kepala daerah di Sulawesi Utara, NTT dan Bali pun sebenarnya sudah menyambut baik Perpres Nomor 10 tahun 2021 itu melalui keterangan pers mereka.

"Yang mungkin agak janggal adalah penyertaan Papua sebagai daerah yang terbuka bagi investasi usaha produksi minol, padahal kerangka regulasi di sana sudah jelas bersifat restriktif terhadap produksi hingga konsumsi minuman beralkohol, tidak seperti di tiga provinsi lainnya," imbuhnya.

Tingkat konsumsi minuman beralkohol di Indonesia hanya 0,8 liter per kapita, tidak seberapa jika dibandingkan dengan rata-rata di Asia Tenggara yang mencapai 4,5 liter per kapita.

Bahkan dari tingkat konsumsi tersebut, 0,5 liternya merupakan konsumsi minuman beralkohol yang tidak tercatat atau ilegal.

Dengan demikian, permasalahan yang ada kaitannya dengan minuman beralkohol di Indonesia justru dikarenakan banyaknya minuman beralkohol yang ilegal atau yang juga dikenal sebagai oplosan.

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2021