Sebagian besar elemen masyarakat, kepemudaan, dan partai oposisi menilai pasal penghinaan presiden akan menjadi pasal karet yang multitafsir.
Jakarta (ANTARA) - Ketua Dewan Pembina Dewan Pimpinan Pusat Peduli Bangsa Nusantara (DPP PBN) Rahmat Bastian meminta pasal tentang penghinaan presiden dalam RUU KUHP sebaiknya dihilangkan demi prinsip kesetaraan kedudukan di muka hukum.
"Agar setiap pejabat publik lain, seperti Ketua MPR, Ketua DPD, Panglima TNI, dan Jaksa Agung tidak meminta keistimewaan khusus terlindungi pasal penghinaan terhadap Ketua MPR, Ketua DPD, Panglima TNI, ataupun Jaksa Agung, misalnya," kata Rahmat Bastian di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, sebagian besar elemen masyarakat, kepemudaan, dan partai oposisi menilai pasal penghinaan presiden akan menjadi pasal karet yang multitafsir.
"Lagi pula presiden itu 'kan dipilih langsung rakyat. Lantas kenapa rakyatnya sendiri jadi tidak bebas mengkritik presiden?" katanya lagi.
Ia mengkhawatirkan jika undang-undang benar-benar memuat pasal penghinaan terhadap presiden nantinya membuat rakyat tidak bisa mengkritik dan takut dianggap menghina.
Oleh karena itu, Rahmat Bastian menegaskan bahwa RUU KUHP ketika menjadi undang-undang, tidak lagi memuat pasal-pasal yang bermasalah.
"RUU KUHP yang masih mengandung pasal-pasal bermasalah legalitas sejenis ini sebaiknya dihilangkan terlebih dahulu," ucapnya.
Ia menyebutkan masih banyak pasal lain dalam KUHP yang lebih mendesak untuk dimasukkan sebagai revisi, di antaranya pasal bela paksa, turut pelaku, perlindungan saksi, pemalsuan tanda-tangan, keterangan palsu, rahasia jabatan, dan penadah yang jauh lebih bermanfaat bagi masyarakat luas.
Baca juga: Pakar: Pasal perzinaan di RUU KUHP upaya melindungi perempuan
Baca juga: Pro dan kontra serta khitah tujuan awal UU ITE
Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021