Hukum itu tidak berdiri sendiri.
Jakarta (ANTARA) - Publik perlu mengkritik kebijakan dan produk undang-undang demi menjaga dinamika hukum serta memelihara demokrasi di Indonesia, kata ahli Sosiologi Hukum Pidana Universitas Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Fahmi Muhammad Ahmadi.
"Tujuan hukum adalah kesejahteraan masyarakat. Maka, masyarakat sebagai objek sekaligus subjek hukum berhak melakukan kritik demi menjaga dinamika hukum," kata ahli saat memberi pendapatnya pada sidang kasus ujaran kebencian dan berita bohong di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Kamis.
Kasus tersebut melibatkan Jumhur Hidayat, petinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) sekaligus Wakil Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), sebagai terdakwa.
Fahmi, yang saat itu dihadirkan oleh tim penasihat hukum Jumhur Hidayat, menjelaskan bahwa kritik perlu dimaknai sebagai saran dan masukan agar kebijakan dan produk undang-undang yang dihasilkan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dapat mencapai tujuannya, yaitu menyejahterakan rakyat.
"Hukum itu tidak berdiri sendiri dan dalam pembuatan hukum ada banyak faktor yang memengaruhinya. Oleh karena itu, kritik merupakan hal yang biasa dalam dinamika hukum," kata Fahmi.
Ia juga mengingatkan kepada para pihak yang hadir saat sidang, bahwa jika diamati dalam perspektif Sosiologi Hukum Pidana, kritik itu ditujukan terhadap isi kebijakan dan undang-undang, bukan pihak yang membuatnya.
Pernyataan itu, menurut tim kuasa hukum, jadi dasar membantah tuduhan jaksa bahwa Jumhur telah menyebarkan ujaran kebencian.
"Ahli mengatakan bahwa kritik yang dilontarkan itu terhadap kebijakan, bukan subjektif (menyasar orang/pihak tertentu, red.)," kata Koordinator Tim Kuasa Hukum Jumhur, Oky Wiratama, saat ditemui usai sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Kamis.
Tidak hanya itu, kritik Jumhur terhadap Undang-Undang Cipta Kerja, yang menjadi sumber dakwaan jaksa, merupakan bagian dari aspirasi kelompok buruh terhadap pemerintah dan DPR.
"Jumhur ini adalah seorang aktivis buruh, pimpinan serikat buruh yang punya kompetensi dan kewenangan untuk menyampaikan masukan karena UU itu akan berdampak pada anggotanya. Jelas dia (Jumhur) berkompeten (untuk menyampaikan kritik terhadap UU Cipta Kerja)," kata anggota tim kuasa hukum sekaligus Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana.
Jumhur pada 7 Oktober 2020 mengunggah cuitan, "UU ini memang utk PRIMITIVE INVESTORS dari RRC dan PENGUSAHA RAKUS. Kalau INVESTOR BERADAB ya seperti di bawah ini: 35 Investor Asing Nyatakan Keresahannya terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja. Klik untuk baca: kmp.im/AGA6m2," pada akun Twitter pribadinya @jumhurhidayat.
Akibat cuitan itu, jaksa mendakwa Jumhur dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong yang menimbulkan keonaran serta menyebar ujaran kebencian.
Ia pun terancam terjerat dua pasal alternatif, yaitu Pasal 14 Ayat (1) juncto Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 KUHP atau Pasal 45A Ayat (2) jo. Pasal 28 Ayat (2) UU No.19/2016 tentang Perubahan UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Walaupun demikian, Jumhur pada berbagai kesempatan menjelaskan bahwa cuitannya murni kritik terhadap UU Cipta Kerja.
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021