Jakarta (ANTARA) - Tuduhan jaksa bahwa cuitan Jumhur Hidayat di media sosial Twitter dapat memancing keonaran harus dibuktikan untuk memastikan apakah yang bersangkutan benar atau tidak telah melanggar hukum, kata ahli Sosiologi Hukum Pidana saat sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Kamis.
Ahli Sosiologi Hukum Pidana dari Universitas Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Fahmi Muhammad Ahmadi menerangkan pembuktian terhadap tuduhan keonaran penting dilakukan karena perbuatan onar dipengaruhi oleh berbagai macam faktor.
"Harus dibuktikan apakah dia memengaruhi atau tidak. Jika tidak dibuktikan, itu hanya asumsi," kata Fahmi menjawab pertanyaan terkait keonaran saat sidang.
Jumhur Hidayat, petinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) sekaligus Wakil Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) sebelumnya didakwa oleh jaksa dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong yang menimbulkan keonaran.
Aktivis buruh itu juga dituduh telah menyebarkan ujaran kebencian lewat cuitannya di media sosial Twitter, yang isinya mengkritik Undang-Undang Cipta Kerja, pada tanggal 7 Oktober 2020.
Jumhur, lewat akun Twitter pribadinya, mengunggah cuitan: “UU ini memang utk PRIMITIVE INVESTORS dari RRC dan PENGUSAHA RAKUS. Kalau INVESTOR BERADAB ya seperti di bawah ini: 35 Investor Asing Nyatakan Keresahannya terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja. Klik untuk baca: kmp.im/AGA6m2”.
Baca juga: Faisal Basri dihadirkan jadi ahli terangkan Jumhur tidak bohong
Dalam cuitannya, Jumhur mengutip tautan (link) berita yang disiarkan oleh Kompas.com berjudul “35 Investor Asing Nyatakan Keresahannya terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja”.
Akibat cuitan itu, Jumhur pun dijerat oleh dua pasal alternatif, yaitu Pasal 14 Ayat (1) juncto Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 KUHP atau Pasal 45A Ayat (2) jo. Pasal 28 Ayat (2) UU No.19/2016 tentang Perubahan UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Walaupun demikian, terkait dengan dakwaan itu, jaksa belum dapat menunjukkan bukti bahwa cuitan Jumhur memicu keonaran, kata tim penasihat hukum, yang menyebut kelompoknya sebagai Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD).
"Tidak pernah jaksa mampu membuktikan (tuduhan keonaran, red.) itu. Jadi, ini hanya asumsi," kata anggota TAUD sekaligus Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana.
Arif menegaskan tidak ada satu pun alat bukti yang dihadirkan oleh jaksa di persidangan yang membuktikan tuduhan keonaran.
Baca juga: Kuasa hukum akan hadirkan ahli ekonomi dan pidana untuk bela Jumhur
Usai mendengar pendapat ahli, majelis hakim yang dipimpin oleh Hakim Ketua Agus Widodo menjadwalkan sidang berikutnya pada hari Kamis (17/6) minggu depan.
Agenda sidang, antara lain penyerahan bukti surat atau dokumen tertulis yang dapat membantu Jumhur membantah dakwaan jaksa, kata tim penasihat hukum.
"Jika sempat, sidang berikutnya kemungkinan juga akan memeriksa Jumhur sebagai terdakwa," kata Koordinator TAUD Oky Wiratama, pengacara publik LBH Jakarta, saat ditemui usai sidang, Kamis.
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021