Jakarta (ANTARA) - Epidemiolog Universitas Indonesia (UI), Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan pemerintah harus memperkuat surveilans, pelacakan kontak (contact tracing) dan pengujian (testing) untuk dapat memprediksi kenaikan dan mengantisipasi lonjakan kasus COVID-19.
"Utamanya adalah tiga kunci surveilans, contact tracing dan testing. Itu baru dasar yang diperbaiki supaya indikator kita benar dan tahu kasus itu meningkat atau menurun," kata Yunis yang juga merupakan staf pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Kamis.
Baca juga: Ahli: Tingkatkan pelacakan dan tes temukan lebih banyak kasus COVID-19
Baca juga: Satgas: Persentase pelacakan kontak erat positif COVID-19 masih rendah
Yunis menuturkan jika surveilans, pelacakan kontak, dan pengujian sudah kuat, dapat memperkirakan timbulnya peningkatan kasus COVID-19 di kemudian hari, sehingga bisa menyiapkan mitigasi dengan tepat dan jauh lebih siap.
Selain itu, upaya-upaya penanggulangan COVID-19 juga harus dilakukan dengan benar, termasuk kepatuhan protokol kesehatan, penerapan jaga jarak atau social distancing mulai dari skala ringan, sedang hingga berat, percepatan deteksi, disinfeksi, isolasi atau karantina, serta perawatan atau penanganan dari segi kesiapan sumber daya di bidang kesehatan.
"Kalau surveilans itu baik, kabupaten atau kota bisa memperkirakan lonjakan kasusnya," tuturnya.
Surveilans adalah kejadian kasus yang dilaporkan dari Puskesmas ke dinas kesehatan kabupaten atau kota, lalu ke provinsi, dan provinsi melaporkan ke pusat.
Yunis mengatakan saat ini surveilans semua kabupaten/kota dan provinsi serta secara nasional tidak menggambarkan kenaikan kasus yang terjadi di masyarakat. Seharusnya surveilans itu menggambarkan kenaikan kasus di masyarakat.
Jika surveilans itu menggambarkan kenaikan kasus dengan baik, akan bisa memprediksi dengan tepat kapan kapasitas pelayanan kesehatan kabupaten atau kota itu menjadi penuh akibat lonjakan kasus.
Untuk meningkatkan surveilans, lanjutnya, semua kasus harus dilaporkan dengan segera dan tidak disimpan meskipun dengan adanya laporan tersebut, bisa membuat zona risiko kabupaten/kota itu menjadi naik.
"Supaya zona risiko kabupaten atau kota itu tidak merah, kasus pada hariannya atau new record-nya disimpan seolah-olah itu belum dikonfirmasi," tutur Yunis.
Oleh karenanya, sekarang yang harus diupayakan adalah penguatan surveilans, sehingga bisa menangkap kenaikan kasus dengan baik di masyarakat.
Baca juga: Kemenkes latih nakes daerah tingkatkan pelacakan kontak COVID-19
Selain surveilans, Yunis mengatakan pelacakan kontak juga harus ditingkatkan jika ingin menemukan kasus lebih banyak agar dapat memutus rantai penularan COVID-19.
Pada Juni 2020, tingkat pelacakan kontak masih tergolong baik dengan rasio 1:20 hingga 1:40, yang mana ketika ditemukan satu kasus terkonfirmasi positif COVID-19, dilakukan pelacakan kepada 20-40 suspek.
Namun, rasio pelacakan kontak sekarang ini tidak mencapai 1:20. Contohnya, data per 8 Juni 2021 ada 7.725 kasus positif COVID-19 dilaporkan, sementara ada 97.967 suspek, berarti tingkat pelacakan kontak adalah sekitar 1:12. Padahal seharusnya tingkat pelacakan kontak makin hari makin meningkat, sehingga dapat menemukan kasus COVID-19 lebih banyak di masyarakat.
Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021