Kulon Progo (ANTARA News) - Warga Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, kembali menggelar kenduri Rojo Koyo di Waduk Sermo, Senin.
Tradisi itu sempat terhenti sekitar 20 tahun, dan kini digelar lagi, yang juga dikenal dengan sebutan tradisi Sremo Hamengku Gati Kenduri Rojo Koyo.
Salah seorang pemangku adat desa setempat, Wasimin (42) mengatakan digelarnya kembali tradisi tersebut, berawal dari kekhawatiran warga Dusun Gudang, Desa Hargowilis, akan punahnya budaya warisan para leluhur itu.
"Ini kegiatan ritual sebagai wujud rasa syukur atas limpahan rezeki berupa hasil panen dan hewan ternak atau `rojo koyo`. Tradisi ini sebenarnya masih dipertahankan oleh sebagian kecil warga. Hanya saja, untuk tahun ini diselenggarakan secara massal agar lebih meriah dan dapat dikenal masyarakat luas," katanya.
Menurut dia, hanya segelintir warga khususnya kalangan usia tua yang masih melestarikan tradisi yang digelar setiap Idul Fitri ini.
Sedangkan di kalangan generasi muda sekarang, menurut Wasimin tradisi itu tidak dikenal.
Upacara adat yang mengusung tema "Sermo Hamengku Gati" ini diawali dengan kirab 14 ekor kambing dan dua ekor sapi. Selain itu, ada gunungan `wulu wetu` berupa berbagai macam umbi serta buah-buahan, dan gunungan nasi tumpeng.
Sesampainya di tepi Waduk Sermo, `rojo koyo` itu kemudian diguyur dengan air kembang. Setelah prosesi mengguyur selesai, dua gunungan yang sudah didoakan oleh para sesepuh adat ini, kemudian diperebutkan oleh puluhan warga yang sejak pagi sudah menanti untuk mengikuti jalannya ritual tersebut.
Selanjutnya dilakukan tabur bunga di Waduk Sermo. Dengan menumpang tiga perahu, para sesepuh adat dan Wakil Bupati Kulon Progo Mulyono beserta jajarannya mengelilingi waduk sambil menabur bunga. "Tabur bunga dimaksudkan untuk mengenang arwah para leluhur yang makamnya terendam di dasar Waduk Sermo," kata Wasimin.
Ia mengatakan ketika itu demi terwujudnya Waduk Sermo, pemerintah kabupaten harus memindahkan 107 kepala keluarga untuk bertransmigrasi ke Bengkulu dan Riau.
Pembangunan waduk dengan membendung Sungai Ngrancah pada 1994 itu, juga menenggelamkan lima tempat pemakaman umum.
Setelah tabur bunga selesai, acara ditutup dengan penampilan dua kelompok kesenian tradisional, yaitu "jatilan" (semacam kuda lumping) Turonggo Widobudoyo, dan shalawatan Nurul Barokah dari Dusun Tegalrejo, Desa Hargowilis.
Sebagai puncak acara, pada malam harinya digelar wayang kulit dengan dalang Suhartono.
(ANT159/M008)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010