Karena efek impor untuk menurunkan harga pangan dianggap akan merugikan petani, pemerintah kemudian membatasi impor pangan. Namun, dampaknya terhadap masyarakat berlawanan dengan tujuan awal dari kebijakan tersebut
Jakarta (ANTARA) - Lembaga kajian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai penerapan kebijakan proteksi pasar menunjukkan minimnya keberpihakan pemerintah kepada produsen pangan sebagai sektor yang menyumbang pertumbuhan positif selama pandemi COVID-19.
"Pemerintah harus memperluas keberpihakannya kepada produsen lokal dengan tidak hanya berkutat pada kebijakan yang memproteksi pasar, yang seringkali justru mempunyai dampak buruk terhadap kesejahteraan masyarakat termasuk petani, namun juga hadir dengan kebijakan yang dapat meningkatkan produktivitas," kata peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Arumdriya Murwani dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Menurut Pasal 14 UU Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, pemerintah menggunakan perdagangan sebagai alat untuk menjaga kepentingan produsen dalam negeri melalui instrumen seperti kebijakan tarif dan nontarif. Walaupun sama-sama digunakan untuk mengatur perdagangan, Arumdriya mengungkapkan kebijakan nontarif memiliki dampak ekonomi yang lebih besar terhadap harga pangan domestik.
Dia menjelaskan salah satu bentuk kebijakan proteksi pasar adalah melalui kebijakan nontarif yang merupakan kebijakan selain pemberlakuan tarif. Kebijakan ini mempunyai dampak ekonomi terhadap perdagangan barang tersebut.
Arumdriya mencontohkan kebijakan nontarif adalah kuota impor dan kebijakan sanitari dan fitosanitari (SPS) yang diterapkan pada produk yang dikonsumsi manusia. Namun, menurutnya kebijakan nontarif juga bisa berbahaya bagi perlindungan konsumen ketika digunakan untuk mengontrol kuantitas dan harga di dalam negeri.
Menurut dia, dalam beberapa tahun belakangan, tren produksi pangan Indonesia cenderung stagnan atau bahkan menurun merujuk data BPS tahun 2021. Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, produksi pangan belum mampu untuk memenuhi permintaan domestik. Kesenjangan antara jumlah produksi dan kebutuhan masyarakat dinilai membuat harga pangan tinggi dan impor kemudian menjadi solusi cepat untuk mengisi kekosongan tersebut.
“Karena efek impor untuk menurunkan harga pangan dianggap akan merugikan petani, pemerintah kemudian membatasi impor pangan. Namun, dampaknya terhadap masyarakat berlawanan dengan tujuan awal dari kebijakan tersebut. Proses perizinan impor yang berbelit-belit dan pembatasan kuota impor malah ikut berpengaruh dalam mendorong kenaikan harga,” terang Arumdriya.
Kenaikan harga gula yang cukup drastis di awal tahun 2020, kata dia, merupakan salah satu contoh nyata dari proses ini. Keterlambatan penerbitan izin impor untuk gula di awal tahun menyebabkan kelangkaan gula yang mendorong kenaikan harga gula.
Selain itu, izin impor juga diterbitkan ketika kebijakan lockdown meluas di negara-negara pengekspor karena pandemi Covid-19. Kelangkaan pasokan mendorong harga gula di bulan Maret sampai Juni mencapai Rp15.000-18.000, jauh di atas harga eceran tertinggi untuk gula yang ditetapkan oleh pemerintah yang sebesar Rp12.500.
Walaupun demikian, Arumdriya menilai penggunaan kebijakan nontarif pada impor pangan tidak serta merta buruk. Yang perlu menjadi fokus pemerintah adalah pemenuhan hak penduduk untuk mengakses pangan yang aman dan terjangkau.
Tidak stabilnya harga pangan juga sangat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat, terutama bagi keluarga berpenghasilan rendah. Menurut Bank Dunia, rata-rata orang Indonesia menghabiskan 55,3 persen dari pengeluarannya untuk pangan.
Baca juga: Legislator: Pengendalian harga jangan hanya andalkan impor
Baca juga: KPK ajak Mentan dan Mendag untuk kaji impor komoditas pangan
Baca juga: Kementan paparkan 3 strategi genjot akses pasar pangan lokal
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2021