Jakarta (ANTARA News) - "Sama saja, nggak beda dengan yang lain," kata Hilman Jaya, warga Betawi asli, menggambarkan suasana lebaran di kampungnya di Kemanggisan, Rawa Belong, Jakarta.
Meski begitu Hilman mengakui sarana transportasi yang digunakan warga Betawi untuk mudik, serta tempat tujuan mudik, memang berbeda dari umumnya pemudik non Betawi.
"Kalau kami orang Betawi ya di sini dan tidak naik apa-apa. Kalau mereka yang mudik, kan naik bis, kereta dan sarana transportasi lainnya," kata kusir andong di Monumen Nasional ini.
Begitu pula dengan kebiasaan bersilaturahmi ke rumah saudara. Seperti halnya orang Jawa, sehabis Idul Fitri warga Betawi juga berziarah ke makam dan menyambangi rumah saudara-saudara mereka.
"Biasanya kami bareng-bareng main ke rumah engkong (kakek) dan saudara-saudara yang lebih tua. Maklum keluarga besar. Setelah itu baru yasinan (membaca surat Yassin) ke makam," kata Andika Pratama, warga kampung Kaliabang Duku, Bekasi.
Waktu bersilaturahmi pun berbeda-beda. Ada yang selepas Salat Ied, malam hari, atau bahkan keesokan hari setelah Lebara.
Namun bagi Ahmad Maulana, warga Betawi Mampang Prapatan, pemilihan waktu untuk silaturahmi lebih didasarkan pada kenyamanan.
"Saya baru habis Magrib, silatuhrahimnya karena lebih sejuk dibanding siang hari," kata pegawai di Gandaria City ini dengan enteng.
Sementara selama waktu libur lebaran, warga Betawi menggunakannnya untuk jalan bersama keluarga besar ke tempat-tempat wisata, seperti pantai dan kawasan Puncak, Bogor. Namun, beberapa orang lainnya lebih memilih cukup bersilatuhrahmi ke keluarga saja.
Keputusan ini diambil berdasarkan kondisi ekonomi keluarga mereka. Pokoknya, kalau ada dana lebih, orang Betawi akan bertamasya lengkap dengan keluarga besarnya.
"Hampir setiap tahun, saya dan keluarga besar jalan-jalan ke Ancol. Untuk tranportasinya biasanya menyewa bis untuk rombongan atau mobil pribadi jika hanya keluarga sendiri yang ikut," kata Nurul Fadillah, warga Pondok Bambu, Duren Sawit.
Ahmad Maulana menyambung, "Saya juga jalan-jalan tapi tidak ke Ancol atau Ragunan, cuma ke rumah saudara."
Kendati bertetangga dengan orang-orang non Betawi yang pada umumnya mudik ketika Lebaran tiba, warga Betawi tidak merasa terpacu untuk bepergian jauh.
"Ya tidak biasa saja. Buat apa iri? Orang kampung saya di sini," kata Ahmad Maulana. Sedangkan Nurul mengaku ingin juga bepergiab jauh ke luar kota bersama keluarga saat Lebaran tiba.
Angpau
Ada hal umum terjadi di masyarakat Betawi kalau Lebaran tiba, yaitu kebahagian anak-anak mereka karena Lebaran biasanya membuat mereka tiba-tiba memiliki banyak uang.
Ini karena anak-anak selalu mendapatkan uang atau angpao (amplop berisi uang) dari saudara-saudara mereka yang lebih tua.
Betawi mengenal tradisi memberi angpau yang biasanya diberikan dari saudara yang lebih tua atau anggota yang sudah bekerja kepada yang lebih muda.
"Angpau biasanya dikasihkan oleh mereka yang sudah bekerja ke keponakan-keponakannya. Besarnya berbeda-beda, tergantung umur. Kalau umur satu hingga lima tahun biasanya lima ribu rupiah dan seterusnya naik," jelas Andika.
Sementara Ahmad Maulana memaparkan, bahwa di keluarganya angpau biasanya dipukul rata sepuluh ribu rupiah.
Nurul lain lagi. Keluarganya malah mempunyai tradisi memberi angpau berdasarkan strata pendidikan.
"Jika anak SD biasanya sepuluh ribu, anak SMP 20 ribu atau 30 ribu, dan seterusnya," kata Nurul yang mahasiswi Akademi Perbidanan Gema Nusantara, Bekasi, itu.
Tidak hanya angpau, keluarga-keluarga Betawi juga mempunyai tradisi menyajikan makanan khas Lebaran, misalnya ketupat.
Menu Betawi wajib lainnya adalah dodol, kue kering, bawang dan akar kelapa.
"Malam takbiran bersama keluarga biasanya bakar-bakar ikan buat Ketupat, lontong sayur dan dodol, sedangkan untuk kue kering bisa dibeli di toko," kata Andika yang adalah juga mahasiswa Guna Dharma semester pertama.
Kue akar kelapa adalah "trademark" orang Betawi yang selalu ada di toples-toples kue mereka.
"Kalau lebaran pasti ada kue akar kelapa," kata Andika, Nurul dan Maulana, bersamaan. (*)
editor: jafar sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010