Oleh Petrus Suryadi Sutrisno *)
Jakarta (ANTARA News) - Usia Radio Republik Indonesia (RRI) tanggal 11 September 2010 genap mencapai 65 tahun. Usia RRI hampir sama tuanya dengan umur Negara Kesatuan RI yang hanya berbeda 24 hari. Suatu usia sebuah organisasi RRI yang telah cukup lanjut seiring dengan perjalanan sejarah dan dinamika negerinya.
Dalam kurun waktu selama itu jugalah RRI ikut serta dalam pasang surutnya negeri ini tanpa pernah absen dan selalu menyertai panggilan tugas sejarahnya dari masa ke masa sejak masa menegakkan kemerdekaan NKRI, mempertahankankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan mengarungi masa Orde Lama (Orla), Orde Baru (Orba) serta sampai pada Era Reformasi saat ini.
Dari sisi dinamika media yang diyakini oleh Karen Siune dan Wolfgang Truetzschler tahun 1992, maka dinamika dan perkembangan RRI sebagai media elektronik sedikit banyak akan mengekspresikan juga dinamika dan perkembangan masyarakat dan negeri Indonesia di mana RRI itu hidup dan berkembang mengikuti dinamika masyarakatnya sendiri.
Teori reflektif media yang diusung Denis McQuail pada 1986 makin memperkuat dugaan bahwa dinamika dan perkembangan RRI sebagai media massa sekaligus juga merefleksikan dinamika dan perkembangan kehidupan sosial masyarakat negeri Indonesia secara keseluruhan.
Pertanyaannnya adalah bagaimanakah wujud dari dinamika dan perkembangan RRI yang demikian monumental atau mengemuka dalam perjalanan sejarah negeri Indonesia ? Dinamika dan perkembangan dalam RRI yang bisa dicatat adalah adanya perubahan yang amat fundamental atas jatidiri dan peran media RRI dalam tataran sejarah media massa di Indonesia, yaitu eksistensi RRI saat ini sebagai Lembaga Penyiaran Publik.
RRI yang lahir, tumbuh dan berkembang sejalan dengan pertumbuhan negerinya sendiri merupakan indikator dari dinamika dan perkembangan masyarakatnya sendiri. Pertumbuhan masyarakat terefleksikan pada pertumbuhan media RRI. Namun betapapun daya refleksi media RRI dan masyarakat, tetap saja gambaran refleksi dinamika dan pertumbuhan media RRI dan masyarakat tidak selalu bisa pas, tidak kurang dan tidak lebih, atau sama dan sebangun.
Pada suatu periode sejarah 65 tahun RRI tercatat, perkembangan masyarakat dari sisi stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi masyarakat negeri Indonesia yang begitu pesat dan menakjubkan serta membawa Indonesia pada predikat Masyarakat Ekonomi Baru di kawasan Asia. Namun pertumbuhan ekonomi dan masyarakat yang demikian ternyata tidak terefleksikan secara liniair pada dinamika media RRI pada saat itu.
Dinamika media RRI dalam konsepsi Karen Siune dan Wolfgang Truetzschler tidak atau belum berjalan seiring dengan dinamika pertumbuhan masyarakat ekonominya sendiri, bahkan tertinggal. Fakta sejarah RRI sendiri pada era Orla dan Orba bahkan jika ditarik mundur ke belakang sejak era perjuangan-kemerdekaan RI sesuai dengan elan perjuangannya cenderung untuk menyebut RRI sebagai “corong pemerintah RI” karena memang RRI berperan sebagai bagian dari diri pemerintah NKRI.
Juga terdapat suatu era di mana RRI harus menyebarluaskan pernyataan Proklamasi Kemerdekaan RI dari Tugu Proklamasi Jakarta. Sementara itu, RRI juga harus terus menerus menggemakan di udara pekik kemerdekaan dari mulai medan perjuangan Bandung Lautan Api sampai Pekik Merdeka atau Mati Arek-arek Surabaya.
Bisa kita bayangkan, mengapa Stasiun RRI Pusat Jakarta harus dikuasai lebih dulu dan dianggap sebagai instalaasi vital negara pada masa pergolakan Gerakan 30 September (G30S)pada 1965? Kuatnya dominasi dan pengendalian pemerintah terhadap RRI pasca-G30S telah menjadikan RRI mutlak sebagai organ dan medium pemerintah. Suasana dan karakter semacam ini terus melekat pada seluruh jaringan organisasi dan stasiun RRI di seluruh Indonesia.
Era jurnalistik pembangunan yang marak pada era 1970-an makin memposisikan eksistensi RRI sebagai medium milik pemerintah yang terus seolah memperoleh legiitimasi ketika organisasi UNESCO mengintrodusir konsep Komunikasi Penunjang Pembangunan (Communication Suppport Development) di mana radio diperankan sebagai berada di posisi terdepan dalam menyebarluaskan informasi tentang pembangunan di kawasan pedesaan dan daerah terpencil.
Dari berbagai fakta sejarah dan dinamika yang menyangkut RRI tadi dapat disimpulkan bahwa sejak NKRI eksis sebagai negeri merdeka dan melintas masa Orde Lama dan Orde Baru, RRI telah menempatkan diri sebagai medium dan organ radio siaran milik pemerintah. Peralihan dan pergolakan era Orde Baru menuju Orde Reformasi pada kurun waktu 1997/1998 nampaknya menjadi titik tolak bagi RRI untuk mulai memikirkan dan meninjau eksistensi dirinya sebagai organ dan media massa.
Eforia reformasi dan tuntutan pembaruan organisasi RRI sebagai media massa yang mampu mengakomodir semua pihak, golongan dan kepentingan secara independen telah memacu beberapa fungsionaris RRI yang masih punya hati dan idealisme untuk bersama-sama berani membuat penetapan diri tentang bagaimana eksistensi RRI di masa depan pasca reformasi yang sarat dengan kandungan aspek-aspek idealisme, tuntutan kebutuhan sebagai sebuah Perusahaan Umum (Perum) dan kemudian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), serta program yang antisipatif terhadap kepentingan publik.
Orientasi pemikiran yang berkiblat pada kepentingan publik menjadi dasar pijakan RRI menata organisasi dan manajemennya dengan mengubah paradigma yang berorientasi pada pemerintah kepada paradigma yang berorientasi pada kepentingan publik.
Karena itu, Undang-Undang (UU) Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran telah menjadikan RRI berubah menjadi Lembaga Penyiaran Publik yang bersifat independen, netral dan tidak bersifat komersial yang tugasnya memberikan pelayanan siaran informasi, pelestarian budaya, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol sosial dan menjaga citra positif bangsa di dunia Internasional.
RRI merupakan badan hukum yang didirikan oleh negara yang berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 tahun 2005, kedudukannya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden RI.
Dengan perubahan status ini, maka aringan stasiun dan pemancar RRI di seluruh Indonesia telah mengalami revitalisasi pemancar dan studio. Jaringan berita Nasional Pro 3 RRI dimaksudkan untuk meningkatkan daya jangkau dan kualitas siaran mengingat secara geografis Indonesia terdiri dari ribuan pulau yang semua harus terlayani. Upaya penyebaran informasi yang merata ke seluruh pelosok Indonesia khususnya untuk masyarakat di daerah perbatasan Indonesia terdepan atau daerah pedesaan terpencil yang tidak terlayani oleh media lain.
Efisiensi yang dilakukan manajemen RRI sampai pada penataan beberapa tipe stasiun RRI tipe A, B dan C serta membentuk beberapa Studio Produksi di beberapa wilayah perbatasan sesuai kebutuhan dan pelayanan informasi.
RRI merupakan radio yang mempunyai jaringan siaran terbesar yaitu 60 stasiun dengan 191 programa di Indonesia dan berdasarkan penelitian yang diselenggarakan Universitas Indonesia (UI) tahun 2003 RRI telah mampu menjangkau 83% penduduk Indonesia.
Era kepemimpinan Parni Hadi sebagai Direktur Utama (Dirut) RRI yang mengantarkan perubahan citra diri RRI dari Radio Siaran "pelat merah", milik Pemerintah, menjadi Radio Lembaga Penyiaran Publik (LPP) mampu secara cepat menghadirkan kinerja termasuk revitalisasi jaringan dan pelayanan siaran RRI di semua stasiunnya yang kini berjumlah lebih dari 60 stasiun untuk menjawab kebutuhan pelayanan informasi.
Konsep penyiaran RRI yang sebelum menjadi Lembaga Penyiaran Publik lebih banyak prosentasenya produk tergolong “broadcasting” sejak 2005 menjadi lebih variatif karena RRI juga membuat program siarannya dalam kategori “narrow-casting” seperti program siaran pendidikan untuk memperkuat pembentukan karakter bangsa (nation building) dan mendorong persatuan dan kesatuan bangsa.
Program-program siaran untuk daerah perbatasan untuk menjaga informasi di daerah perbatasan. Program-program siaran untuk kelompok minoritas, agar permasalahan mereka dapat terangkat.
Program “narrow-casting” RRI di antaranya seperti program siaran RRI untuk acara “Nostalgic Tourism” di daerah perbatasan Morotai telah memperoleh penghargaan yang diberikan oleh Departemen Budaya dan Pariwisata di samping juga Pariwisata Budaya Award untuk acara dokumenter “Masyarakat Baduy”.
Pada tingkat internasional, RRI memperoleh ABU award untuk siaran dokumenter “2 Tahun Lumpur Lapindo” , penghargaan diberikan oleh Asia Pacific Broadcasting Union (ABU) kepada RRI Surabaya.
Ketika RRI dipercaya untuk menyelenggarakan sidang umum Asia Pacific Broadcasting Union, 19-25 Nopember 2008 di Bali yang dihadiri sekitar 600 orang pimpinan radio dan televisi se dunia, usul RRI tentang pengadaan program siaran “Green Radio” yang mengharuskan semua negara peserta ABU untuk mengadakan siaran yang menyangkut program penghijauan dan pengurangan dampak pemanasan global.
RRI di usia dewasanya yang ke 65 bukan hanya sekedar mampu melaksanakan tugas panggilan profesi medianya saja tetapi peran media RRI dapat dikatakan telah melampaui fungsi “media maintsream”nya. Keberhasilan RRI membuktikan diri sebagai Lembaga Penyiaran Publik telah menghapus citra RRI sebagai Radio Milik Pemerintah.
Ketika RRI telah mencapai usianya yang ke 65 ini ada sebuah catatan kritis yang tidak boleh terlewatkan untuk direnungkan semua fungsionaris dan manajemen RRI bahwa betapapun rekor keberhasilan kinerja dan jaringan serta pelayanan siaran RRI sebagai media massa milik publik, masih banyak tantangan dan pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh seluruh jajaran RRI.
Pertama, persaingan bisnis industri media massa mengharuskan RRI untuk bersiap diri melakukan pembenahan sesuai dengan tuntutan kebutuhan publik dan dalam era “media whirlpool” seperti yang dikemukakan oleh Jim Willis dan Diane B Willis tahun 1994 di mana batas-batas tradisional antara media cetak dan media elektronik setiap hari menjadi semakin kabur batasnya.
Kedua, era teknologi penyiaran yang bergeser dari analog, digital dan multimedia, mau tidak mau akan menuntut adanya program mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) RRI yang siap menghadapi tuntutan kebutuhan dan perubahan teknologi yang tidak terelakkan.
Meskipun RRI adalah media radio dengan sasaran komunikannya para “pendengar”, sejak dini RRI perlu menyadari dan mengantisipasi bahwasanya karakter tunggal komunikan pendengar RRI dari masa ke masa juga mengalami mutasi atau metamorphosis karena karakter tunggal komunikan pendengar RRI pada saat yang sama juga merupakan komunikan pendengar, pembaca dan sekaligus pemirsa yang tidak mustahil akan mengakses RRI melalui jaringan multimedia.
Ketiga, organisasi, manajemen dan jaringan stasiun internal RRI serta jaringan kerjasama eksternal RRI seperti jalinan kerjasama RRI dengan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) dan Asosiasi Radio Siaran Swasta Lokal Indonesia (ARSSLI), termasuk kerjasama relay siaran dengan beberapa siaran radio komunitas berupa siaran bersama dan relai untuk siaran berita dan siaran untuk kepentingan bangsa.
Belum lagi kerjasama dengan lembaga penyiaran asing, yaitu RTM, RTB, NHK, Radio Turki, Radio Swedia, Deutch Welle, Radio Korea, Radio Australia, dan Radio China bagaimana pun merupakan aset nasional yang dari sisi sistem media masssa dan jaringan informasi pemberitaan merupakan suatu kekuatan dan bagian integral dari ketahanan nasional NKRI dan harus dianggap sebagai kekuatan, kemampuan dan kehandalan RRI sebagai mesin Perang Informasi.
Selamat. RRI mencapai usia yang ke 65 yang dengan semboyan “Sekali Di Udara Tetap Di Udara” mampu mengaktualisasi diri sebagai media massa milik publik dan tetap di udara dalam era globalisasi, persaingan industri media massa dan mampu memenuhi kebutuhan publik di era multimedia. (*)
*) Petrus Suryadi Sutrisno (piets2suryadi@yahoo.com) adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Informasi, dan Staf Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS).
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010