Kami sebenarnya bukan pengusaha, tetapipenggarap lahan yang mendirikan bangunan untuk usahaMataram (ANTARA) - Para pengusaha yang menjalankan bisnisnya di atas lahan PT Gili Trawangan Indah (GTI), kawasan Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara mendatangi Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat (Kejati NTB), Rabu.
Juru Bicara Kejati NTB Dedi Irawan, di Mataram, menjelaskan kedatangan para pengusaha itu sesuai dengan permintaan jaksa pengacara negara (JPN) sebagai penerima surat kuasa khusus (SKK) Gubernur NTB dalam upaya penyelesaian hukum perjanjian kontrak produksi dengan PT GTI.
"Jadi mereka yang datang hari ini, dimintai penjelasan mengenai kegiatan usahanya di dalam areal PT GTI, kawasan Gili Trawangan," kata Dedi.
Salah seorang pengusaha di atas lahan PT GTI, yakni pengelola Sama-Sama Reggae Bar, Acok Zani Bassok terlihat memenuhi undangan Kejati NTB.
Tepat pukul 14.00 WITA, pria yang akrab disapa Bacok tersebut masuk ke ruang jaksa di bidang yustisial perkara perdata dan tata usaha negara (datun).
Namun, pemenuhan undangan pihak kejaksaan itu berlangsung singkat. Sekitar pukul 15.00 WITA, Bacok sudah menyelesaikan urusannya dengan kejaksaan.
Kepada wartawan, Bacok mengaku telah memberi penjelasan kepada jaksa terkait kegiatan usahanya di atas lahan PT GTI.
"Saya ditanya tahun berapa mulai di sana. Saya bilang saya lahir di sana, karena orang tua saya dari sana, orang pertama yang buka lahan di Gili Trawangan," kata Bacok.
Kegiatan usahanya di bidang penginapan, bar, dan restoran di atas lahan seluas 24 are, Bacok memulainya setelah PT GTI masuk.
"PT GTI itu kan masuknya tahun 1994, saya setelah itu. Tetapi dalam hal ini, kami sebenarnya bukan pengusaha, tetapi kami penggarap lahan yang mendirikan bangunan untuk usaha," ujarnya.
Sejak menjalankan usahanya, Bacok bersama para pengusaha lainnya yang berada di lahan PT GTI sudah pernah mengajukan perizinan ke pemerintah. Namun, perjuangan untuk mendapatkan legalitas dalam menjalankan usahanya tak kunjung dia dapatkan.
"Beberapa kali kami ajukan, tetapi kami tidak juga dapatkan alas hak, karena memang yang punya hak kelola di situ PT GTI," ujar dia lagi.
Meskipun demikian, Bacok bersama pengusaha lainnya tidak pernah absen membayar setoran pajak ke pemerintah daerah. Setoran tersebut berkaitan dengan pajak restoran dan penginapan.
"Bukti setoran pajak restoran ke daerah juga saya tunjukkan ke jaksa. Itu yang tahun 2018, setelah gempa, saya setor Rp10 juta-Rp11 juta," kata Bacok.
Terkait dengan rencana PT GTI yang akan membuat kontrak produksi baru dalam pengelolaan lahan di kawasan Gili Trawangan, Bacok mendukung hal tersebut.
Namun, dia berharap agar kegiatan usaha yang telah dia jalankan bersama pengusaha lainnya di atas lahan PT GTI bisa menjadi bahan pertimbangan pemerintah.
"Kami mau kerja sama dengan pemerintah. Kalau bisa tanpa melalui PT. Karena kami juga mau dapat legalitas di sana," ujarnya pula.
Bahkan terkait PT GTI yang hanya menyetorkan royalti Rp22,5 juta per tahun ke Pemprov NTB, Bacok bersama pengusaha lain menyanggupi untuk membayarnya ke pemerintah.
"Pemprov NTB yang katanya cuma terima Rp22,5 juta per tahun dari PT GTI, kalau segitu, saya juga sanggup bayar sendiri, asal dapat legalitas," ujar dia.
Kemudian terkait adanya rencana para pengusaha akan diminta angkat kaki dari lahan PT GTI, Bacok yakin pemerintah akan memberikan jalan keluar yang baik tanpa ada kerugian dari pihak mana pun.
"Berani mati kami. Tetapi kalau menurut saya, pemerintah tidak mungkin ke arah sana, pasti akan ada solusi yang lebih baik untuk seluruh pihak," ujarnya.
Baca juga: Pemprov NTB putuskan adendum kontrak PT GTI
Baca juga: KPK ingatkan aparatur pemerintah di NTB tak ada manipulasi soal GTI
Pewarta: Dhimas Budi Pratama
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021