Jakarta (ANTARA News) - Demi Rp300.000. Itulah alasan Rina, perempuan asal Bogor, Jawa Barat, untuk rela berdiri berpanas-panasan berdesak-desakan dengan ribuan orang lainnya di depan pintu gerbang Gedung Sekretariat Negara, Jalan Majapahit, Jakarta, Jumat.
Alasan yang sama pun meluncur dari bibir puluhan orang lain yang rela mengantre berjam-jam menunggu kesempatan bersilaturahim Lebaran dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta, pada hari pertama Idul Fitri 1431 Hijriyah.
Entah dari mana sumber berita. Namun hampir sebagian besar masyarakat berduyun-duyun menyesaki Jalan Majapahit berharap isi dompetnya bertambah Rp300.000 setelah bersalaman dengan Presiden Yudhoyono yang membuka silaturahim terbuka (open house) untuk warga selama 2,5 jam dari pukul 15.00 sampai pukul 17.30 WIB.
Juru Bicara Kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, menegaskan bahwa informasi itu bukan dari lingkungan Istana Kepresidenan, dan ia memastikan bahwa Presiden Yudhoyono tidak memberikan uang pada silaturahim tersebut.
"Itu informasi yang tidak bertanggungjawab. Dari mana sumber kabar tersebut? Tidak benar Presiden membagi-bagikan uang," ujar Julian.
Namun, beberapa warga ternyata memiliki keyakinan berdasarkan pengalaman sendiri. Beberapa penyandang tuna netra yang rutin menyambangi istana setiap Presiden Yudhoyono menggelar open house mengatakan tahun lalu mereka mendapatkan amplop berisi uang Rp250.000.
Bahkan, menurut salah satu penyandang tuna netra, Umar, dua tahun lalu jumlahnya dua kali lipat mencapai Rp500.000.
Tahun ini, ternyata jumlahnya menciut hanya Rp100.000. Pihak Istana Kepresidenan memang menyediakan uang transpor khusus bagi penyandang cacat yang bersilaturahmi dengan Presiden Yudhoyono.
Jalur keluar untuk para penyandang cacat dibedakan dari warga yang sehat jasmani melalui pintu kecil di sayap kanan Istana Negara. Di celah jalur yang sempit, seorang petugas membagi-bagikan amplop putih kepada penyandang cacat dan kotak berisi air minum kemasan dan makanan ringan. Sedangkan, warga yang sehat jasmani harus puas pulang ke rumah hanya dengan sekotak kue setelah berjam-jam berdiri kepanasan.
Penyandang cacat pun tidak seluruhnya mendapatkan uang Rp100.000 karena banyak di antara mereka gagal bersilaturahmi dengan Presiden Yudhoyono.
Zul Hasan, yang datang bersama sepuluh penyandang tuna netra dari Bandung, hanya bisa meloloskan empat kawannya, sedangkan yang lainnya harus gigit jari. Petugas membatasi pemberian kartu berwarna untuk mengantre masuk ke Istana Negara dengan alasan waktu silaturahmi telah habis.
Sempat terjadi beberapa kali kericuhan di depan pintu gerbang Sekretariat Negara karena berulang kali ribuan warga tertahan untuk memasuki halaman.
Pihak Rumah Tangga Kepresidenan sejak tiga hari lalu sudah melayangkan pengumuman bahwa open house digelar dari pukul 15.00 WIB sampai pukul 17.30 WIB, sedangkan pintu gerbang dibuka mulai dari pukul 14.00 WIB dan ditutup pada pukul 16.30 WIB.
Masyarakat sudah menyemut di depan pintu gerbang masih tertutup rapat sejak pukul 13.30 WIB dan terjadi aksi dorong-dorongan sehingga petugas keamanan memutuskan membuka gerbang untuk menyelamatkan mereka yang terhimpit.
Namun, aksi dorong-dorongan justru semakin gencar dan beberapa orang sempat terinjak-injak. Bahkan, ada seorang bocah yang sampai terpisah dari orang tuanya dan diselamatkan oleh petugas keamanan di pos penjagaan.
Pintu gerbang akhirnya ditutup lagi dan petugas keamanan berupaya memecah konsentrasi masa dengan mengarahkan sebagian warga untuk masuk melalui pintu di Jalan Veteran. Mendengar pengumuman itu, masyarakat justru kecewa dan menyoraki petugas.
Tidak lama kemudian, terdengar pengumuman dari pengeras suara bahwa waktu silaturahim telah habis dan warga diminta membubarkan diri. Padahal, waktu masih menunjukkan pukul 15.00 WIB sedangkan sebelumnya dinyatakan pintu gerbang baru akan ditutup pada pukul 16.30 WIB. Pengumuman itu hanya menyulut kekesalan warga yang akhirnya berteriak marah dan memukul-mukul pagar Gedung Sekretariat Negara.
Untuk menyelamatkan warga yang terdesak di depan pagar, lagi-lagi petugas keamanan membuka sedikit celah pagar. Belasan warga, umumnya perempuan, langsung pingsan begitu meloloskan diri dari kerumunan. Romi, penyandang tunagrahita, bahkan harus terlempar dari kursi rodanya dan terjatuh begitu berhasil memasuki halaman Gedung Sekretariat Negara.
Tidak semua yang berhasil memasuki halaman itu berhasil bersilaturahmi dengan Presiden Yudhoyono. Ribuan warga tetap gagal karena tidak mendapatkan kartu antrean dan akhirnya hanya mendapatkan air minum dan makanan ringan. Setelah melepas lelah duduk-duduk di lapangan rumput, akhirnya mereka pulang dengan kecewa setelah hari menggelap.
Pihak Tata Usaha Sekretariat Negara mencatat tahun ini Presiden Yudhoyono menerima 2.100 warga untuk bersilaturahmi. Sedangkan, Biro Pers dan Media Istana Kepresidenan menyebut angka 3.500 orang. Pada tahun lalu jumlah warga yang bersilaturahmi dengan Presiden mencapai sekitar 5.000 orang.
Beberapa petugas keamanan memang mengaku mendapatkan perintah untuk membatasi jumlah warga yang masuk karena diharapkan silaturahmi sudah selesai tepat pukul 17.30 tanpa perpanjangan waktu. Di pintu gerbang Sekretariat Negara bahkan sempat tertempel kertas pengumuman bahwa jumlah warga yang bersilaturahmi hanya dibatasi sebanyak 1.250 orang.
Dan memang, silaturahmi bisa berakhir tepat pukul 17.30 WIB. Setelah lingkungan dalam Istana Kepresidenan sepi dari warga, rangkaian mobil Presiden Yudhoyono telah disiapkan. Kepala Negara langsung kembali ke kediaman pribadinya di Puri Cikeas Indah, Bogor, Jawa Barat, tak lama setelah acara silaturahmi berakhir.
Presiden, menurut Kepala Biro Pers dan Media Istana Kepresidenan, D.J. Nacrowi, pulang ke rumahnya dengan membawa rasa prihatin dan terkejut karena telah mendengar seorang warga tewas akibat terdesak kerumunan di luar pagar Gedung Sekretariat Negara.
Joni Malela kehabisan nafas setelah sempat terdorong-dorong di depan pagar dan tidak bisa diselamatkan lagi meski petugas Dinas Kesehatan DKI Jakarta telah memberikan bantuan pernafasan melalui oksigen.
Untuk meringankan beban keluarga penyandang tuna netra berusia 45 tahun itu, Presiden pun memberikan santunan uang duka Rp10 juta.
Istri Joni Malela, Euis, meski terlihat tabah menerima kematian suaminya tentu tak pernah menduga harus kehilangan orang yang dicintai pada hari kemenangan. Hari kemenangan yang sepantasnya dimaknai sebagai pembebasan setelah 30 hari penuh menahan gelora nafsu.
Tapi, di hari kemenangan ini ternyata bangsa Indonesia disuguhi tontonan kerumunan massa yang memperebutkan lembaran rupiah sampai mengabaikan risiko keselamatan. Masyarakat yang berbondong-bondong mendekati simbol kekuasaan dengan harapan kucuran uang.
Adakah akhirnya makna fitri? Kembali pada hakikat manusia yang menemukan kekuatannya setelah mengalahkan hawa nafsu. Untuk menjadi manusia yang merdeka, berdaya, dan punya harga diri.
Atau justru mempertegas sayup-sayup maraknya politik uang untuk meraih kekuasaan? Sehingga, manusia Indonesia sudah begitu terlatih untuk merendahkan harga diri dan rela diperalat demi lembaran rupiah.
(T.D013/Z002/P003)
Oleh Oleh Diah Novianti
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010