Produk hasil dari pengembangan inovasi serta teknologi ini diklaim memiliki profil risiko yang lebih rendah hingga 95 persen dibandingkan dengan rokok.
Ketua Umum Aliansi Pengusaha Penghantar Nikotin Elektronik Indonesia (APPNINDO), Roy Lefrans dalam keterangannya di Jakarta, Selasa mengatakan, ada dua faktor yang dapat menjadi alasan produk HPTL bisa berkontribusi dalam menciptakan perbaikan kesehatan publik sehingga tidak membebani negara.
“Pertama, karena ada kajian ilmiah. Sudah banyak kajian ilmiah yang dilakukan baik di dalam maupun luar negeri mengenai produk HPTL, seperti rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan,” katanya.
Baca juga: AVI minta ada regulasi produk hasil pengolahan tembakau lainnya
Salah satunya riset yang dilakukan badan eksekutif dari Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial di Inggris, Public Health England, yang berjudul “Evidence Review of E-Cigarettes and Heated Tobacco Product 2018” yang menyatakan bahwa profil risiko produk HPTL 95 persen lebih rendah dari pada rokok.
Faktor kedua, pengakuan dari pengguna mengenai kesehatannya sejak menggunakan produk HPTL. “Banyak yang mengaku memperoleh manfaat setelah pindah ke HPTL dan tidak merokok lagi,” ujarnya.
Selain itu, sejumlah akademisi dari berbagai universitas di Indonesia juga telah meneliti produk tersebut lebih lanjut.
“Pada HPTL tidak ada pembakaran sedangkan di rokok kan harus dibakar, itulah mengapa HPTL tidak mengandung TAR. Karena pembakaran itulah yang menghasilkan zat-zat berbahaya,” ujar Roy.
Baca juga: Pengamat: Perlu kajian ilmiah untuk pemanfaatan produk hasil inovasi
Karena telah terbukti secara kajian ilmiah memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok, Inggris, Jepang, dan Selandia Baru mendukung penggunaan produk HPTL. Penggunaan produk tersebut di Inggris telah mendorong 20.000 perokok berhenti merokok setiap tahunnya.
Badan statistik Inggris melaporkan angka perokok mengalami penurunan dari 14,4 persen pada 2018 lalu menjadi 14,1 persen atau setara dengan 6,9 juta perokok pada 2019.
Berdasarkan hasil survei Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang, angka perokok pria turun di bawah 30 persen untuk pertama kalinya menjadi 28,8 persen pada 2019. Angka perokok dari kalangan perempuan juga turut berkurang 0,7 poin menjadi 8,8 persen pada 2019.
Sedangkan menurut laporan Kementerian kesehatan Selandia Baru, angka perokok pada 2011/2012 sebesar 16,3 persen, turun menjadi 14,2 persen pada 2015/2016. Angka tersebut kembali turun menjadi 12,5 persen pada 2018/2019.
Seperti diketahui, pada 2017 Kementerian Kesehatan RI mencatat pemerintah harus menggelontorkan dana hingga Rp5,9 triliun melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk menanggulangi lebih dari 5 juta kasus penyakit yang diakibatkan oleh rokok.
Selain itu, kerugian akibat orang produktif yang menjadi tidak produktif karena sakit akibat rokok mencapai Rp 4.180,27 triliun, setara dengan seperlima dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021