Perlu dikaji dan dipertimbangkan lebih dalam lagi baik dalam perspektif konstitusional-nya maupun kemanfaatan-nya

Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto menilai perlu dikaji dan dipertimbangkan secara mendalam terkait keberadaan pasal-pasal tentang penghinaan Presiden-Wakil Presiden yang akan diatur dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).

"Perlu dikaji dan dipertimbangkan lebih dalam lagi baik dalam perspektif konstitusional-nya maupun kemanfaatan-nya," kata Didik di Jakarta, Selasa.

Dia menjelaskan, dalam perspektif konstitusionalitas pasal penghinaan presiden dalam KUHP sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi.

Menurut dia, kalau ada putusan MK yang sudah dibatalkan, kemudian dibangkitkan lagi maka bisa menimbulkan krisis konstitusi.

"Dibatalkan, kemudian dimunculkan, lalu diuji kembali, bisa jadi dibatalkan lagi. Potensi munculnya ketidakpastian hukum akan terus terjadi, padahal putusan MK bersifat final," ujarnya.

Didik mengatakan, pengaturan terkait dengan pidana penghinaan termasuk pencemaran nama baik secara umum sudah diatur.

Baca juga: PPP dapat terima sifat delik aduan pasal penghinaan presiden di RKUHP

Baca juga: Pasal penghinaan presiden muncul lagi di RKUHP dipertanyakan

Menurut dia, setiap pejabat negara sebagai bagian dari warga negara, mempunyai hak yang melekat pada dirinya seperti warga negara lainnya untuk menuntut setiap pelanggaran terhadap kehormatannya.

Politisi Partai Demokrat itu menjelaskan, konsekuensi negara hukum yang demokratis seperti Indonesia, kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab menjadi salah satu hak yang harus dihormati dan dijamin sebagaimana diamanatkan konstitusi.

Menurut dia, sebagai bagian penting partisipasi publik dalam ikut mengawal jalannya pemerintahan adalah ikut serta melakukan pengawasan termasuk memberikan masukan dan kritik yang konstruktif dan bertanggung jawab.

"Dalam konteks ini maka tidak ada terhindarkan munculnya kritik terhadap setiap institusi dan pejabat penyelenggara negara, termasuk Presiden dan wakil rakyat," tutur-nya.

Didik menilai hal yang lumrah dan biasa saja ketika rakyat terus bersuara dan mengkritik keras untuk perbaikan sehingga tidak perlu sensitif berlebihan karena itu dengarkan saja dan lakukan perbaikan.

Dalam draf RKUHP yang beredar, aturan terkait penghinaan terhadap Presiden-Wakil Presiden diatur dalam BAB II Pasal 217-219.

Pasal 217 disebutkan bahwa "Setiap orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Pasal 218 ayat (1) Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak
kategori IV.

Ayat (2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Pasal 219 disebutkan bahwa "Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Pasal 220 ayat (1) disebutkan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.

Ayat (2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021