Saya pikir di sana titik ketidakadilannya

Jakarta (ANTARA) - Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi Yuyun Harmono mengatakan perusahaan-perusahaan global harus menurunkan emisi gas rumah kacanya sendiri tanpa menggunakan fasilitas carbon offset dari tempat lain.

Negara-negara di belahan Bumi utara sudah menikmati pembangunannya, dengan menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang tinggi. Dalam konteks negara maju, maka yang bertanggung jawab atas emisi yang dihasilkan tentu dari perusahaan atau korporasi-korporasi besar mereka, kata Yuyun dalam siniar "Lestari Kini dan Nanti" diadakan Lawalata IPB diakses dari Jakarta, Sabtu.

"Korporasi ekstraktif bertanggung jawab atas 70 persen emisi global. Harusnya mereka turunkan emisi lebih besar dibanding yang ada di negara berkembang. Kalau kita turunkan 30 persen ya mereka tiga kali lipat dari itu," ujar dia.

Mereka, menurut dia, juga harus melakukan carbon offset di negara sendiri, bukan di negara berkembang seperti di Indonesia.

"Itu kolonialisme baru kalau hutan kita, kita jaga. Lalu dibayar perusahaan yang kantor pusat besarnya ada di negara maju," katanya.

Baca juga: Hari Lingkungan Hidup Sedunia, indikasi runtuhnya ekologi terlihat

Ia mengemukakan tentang upaya menghentikan penebangan pohon di hutan guna mencegah bencana alam.

"Saya kira menghentikan hutan tidak digunduli itu bukan atas dasar desakan negara maju. Tapi karena memang kita mau menghindari dampak bencana. Dan bukan berarti kita leha-leha, kita tunjukkan kita sungguh-sungguh menurunkan emisi dari berbagai sektor yang berbasis lahan, energi, limbah dan sampah," kata Yuyun.

Perdagangan karbon, menurut dia, hanyalah cara negara berkembang mencari celah untuk pendanaan mengatasi perubahan iklim, sedangkan mendorong negara maju ataupun korporasi menurunkan emisi secara drastis juga bukan pekerjaan mudah.

Oleh karena itu, perdagangan karbon itu yang menjadi celah dengan memanfaatkan carbon offset, aksi kompensasi dari emisi karbon dioksida (CO2) yang dilepas ke atmosfer dari aktivitas industrial maupun aktivitas manusia lainnya.

Bagi komunitas atau masyarakat yang merawat hutan untuk menyerap emisi GRK memang mendapatkan pendanaan baru. Tapi di sisi lain ada yang tidak adil, di mana perusahaan yang melakukan carbon offset tetap mengeluarkan emisi dalam jumlah besar, sehingga tidak mampu mengubah watak bisnis secara benar.

"Saya pikir di sana titik ketidakadilannya," ujar dia.

Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB University Prof Hefni Effendi mengakui sejalan pemikirannya dengan Yuyun terkait dengan carbon offset.

Oleh karena itu, katanya, hanya akal-akalan negara maju, dari pada mereka harus memotong emisinya sehingga harus menurunkan produktivitas industrinya hingga memangkas jumlah karyawan.

"Mereka tidak mau menurunkan pertumbuhan ekonomi mereka, jadi bayar saja ke negara berkembang. Mereka hancurkan alam duluan, tapi ketika kita mau memulai industrialisasi, mereka berteriak. Itu tidak 'ecological justice'. Jangan sampai kita terlena dengan carbon offset negara maju," ujar dia.

Baca juga: WALHI: Penting turunkan emisi dari penggunaan lahan dan kehutanan
Baca juga: WALHI luncurkan Tinjauan Lingkungan Hidup 2021

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2021