nantinya sekolah-sekolah lebih banyak diisi siswa yang tempat tinggalnya tak jauh
Jakarta (ANTARA) - Ketika akan mendaftarkan anak agar bisa sekolah, para orang tua selalu dihadapkan pada pilihan jalur masuk yang beragam.
Pilihan-pilihan itu membutuhkan perhatian serius. Salah dalam menentukan pilihan jalur, anak bisa tidak mendapatkan kesempatan untuk bersekolah di sekolah yang diinginkan.
Yang juga membuat pusing adalah penerimaan siswa lebih banyak ditentukan berdasarkan nilai ebtanas murni (NEM). Nilai itu kemudian menjadi dasar dalam pendaftaran sekolah.
Sekolah-sekolah kemudian menerapkan pemeringkatan (rangking) dalam penerimaan murid atau siswa baru. Maka muncul sekolah favorit (tempat murid yang memiliki NEM tinggi) dan sekolah dengan kategori biasa, bahkan dianggap tidak favorit.
Tentu sekolah favorit dengan rentang NEM tertinggi menjadi pilihan utama. Setelah itu sekolah yang yang berada di peringkat berikutnya.
Seleksi dengan sistem seperti memacu setiap peserta didik agar memperoleh nilai tinggi.
Selain dukungan buku-buku pelajaran, peningkatan kemampuan dilakukan orang tua dengan memberikan pelajaran tambahan melalui kursus atau les dengan guru atau di lembaga-lembaga pendidikan di luar jam sekolah.
Tujuannya agar nanti bisa diterima di sekolah favorit. Beberapa tahun lalu, peluang masuk sekolah favorit bisa diperoleh siswa dengan nilai minimal, yakni melalui jalur bina lingkungan tetapi kuotanya sedikit.
Baca juga: Usia tak lagi jadi kriteria PPDB di SMK Jakarta Barat
Sistem penerimaan siswa baru dengan mengedepankan NEM itu menyebabkan lokasi sekolah dengan rumah siswa terjadi persebaran. Tak sedikit siswa harus menempuh perjalanan jauh.
Ini juga dinilai sejumlah kalangan menimbulkan masalah baru, yakni jauh dan lama jarak tempuh. Apalagi bila jarak itu diwarnai kepadatan dan kemacetan lalulintas.
Tak jarang hal itu menyebabkan waktu tempuh lebih lama, apalagi bila naik kendaraan umum seperti angkutan kota (angkot) atau bus umum. Dampak lainnya adalah rasa lelah ketika sampai sekolah.
Sepeda motor
Selain harus antar-jemput pada jarak jauh, sebagian orang tua melepas begitu saja anaknya pulang-pergi ke sekolah dengan kendaraan sendiri. Sepeda motor menjadi andalan.
Tetapi risikonya juga tak kalah berat yakni dari potensi kecelakaan hingga pelanggaran aturan lalulintas. Yang pasti, penggunaan sepeda motor oleh kalangan pelajar adalah strategi untuk menyiasati jauhnya jarak tempuh dengan rumahnya.
Padahal penggunaan kendaraan termasuk sepeda motor untuk ke sekolah adalah pelanggaran Undang-Undang tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).
Hal itu karena pelajar umumnya belum berhak memiliki surat izin mengemudi (SIM), kecuali yang telah berumur 17 tahun ke atas dan punya SIM.
Fenomena pelajar naik sepeda motor telah terjadi dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir.
Baca juga: Menyambut PPDB 2021
Kepolisian pun sering melakukan razia, di samping menyampaikan imbauan kepada orang tua agar tidak mengizinkan anaknya naik motor ke sekolah, kecuali telah punya SIM.
Namun pelajar juga punya siasat. Saat ada periode operasi penertiban, maka ke sekolah diantar orang tuanya atau lewat "jalur-jalur tikus".
Fenomena seperti itulah yang akan terus terjadi selagi jarak tempuh antara rumah siswa dengan lokasi sekolah cukup jauh. Itu sebagai konsekuensi bahwa sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) lebih mengutamakan nilai rapor maupun NEM.
Tentu bukan sistem PPDB-nya yang salah karena seleksi berdasarkan pemeringkat nilai juga positif untuk memacu siswa berprestasi dari sisi nilai akademis.
Hanya saja harus diakui bahwa sistem seperti itu menyebabkan persebaran tempat tinggal siswa dengan sekolah ada yang cukup jauh.
Zonasi
Untuk PPDB tahun ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) sedikit mengubah persentase dengan menambah porsi untuk jalur zonasi.
Tujuannya, mendekatkan tempat tinggal siswa dengan lokasi sekolah.
Persentase jalur zonasi untuk jenjang SMP dan SMA pada PPDB 2021 minimal 50 persen dari daya tampung. Sedangkan untuk jenjang SD paling sedikit 70 persen dari daya tampung sekolah.
Baca juga: DKI terbitkan pergub tentang juknis penerimaan peserta didik baru
Dengan demikian, nantinya sekolah-sekolah lebih banyak diisi siswa yang tempat tinggalnya tak jauh dari gedung sekolahnya. Siswa cukup jalan kaki, kalaupun berkendaraan, cukup sepeda.
Dengan jalan kaki atau naik sepeda, maka ada nuansa olahraga. Di samping potensi kecelakaan lalulintas lebih rendah dibanding naik sepeda motor.
Begitu pula jarak tempuh yang tidak terlalu jauh dari rumah ke sekolah menjadikan pulang-pergi ke sekolah akan hemat waktu.
Dengan demikian, jarak tempuh tidak membuat lelah akibat perjalanan relatif jauh dan lebih lama.
Tampaknya itulah salah satu sisi maksud dan tujuan memperbesar persentase jalur zonasi.
Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya pun menilai banyak perbaikan soal pelaksanaan PPDB di DKI Jakarta tahun ini, baik dari aspek regulasi maupun substansi peraturan.
"Kami mengapresiasi Pemprov DKI yang membuat petunjuk teknis PPDB tahun 2021," kata Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya Teguh P Nugroho di Jakarta, beberapa hari lalu.
Secara regulasi, Pemprov DKI sudah membuat petunjuk teknis terkait PPDB yang tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 32 tahun 2021.
Baca juga: Disdik: PPDB 2021 disusun dekatkan tempat tinggal siswa dengan sekolah
Peraturan Gubernur DKI itu sekaligus memperbaharui Peraturan Gubernur Nomor 43 Tahun 2019 tentang PPDB.
Petunjuk teknis PPDB tahun ini berbeda dengan petunjuk teknis tahun sebelumnya yang hanya diatur berdasarkan Keputusan Disdik DKI Nomor 501 Tahun 2020.
Sementara secara substantif, sesuai dengan kajian yang telah dilakukan Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya, Pergub 32 Tahun 2021 telah sesuai dengan Permendikbud Nomor 1 tahun 2021 terkait PPDB di TK, SD, SMP, SMA dan SMK.
Salah satu hal yang paling menjadi perhatian dalam setiap PPDB di DKI, yakni penetapan zonasi yang berbasis RT/RW. Sesuai dengan ketentuan di dalam pasal 17 Permendikbud 1 Tahun 2021 tersebut, penetapan zonasi ditetapkan oleh pemerintah daerah.
Untuk itu, Dinas Pendidikan DKI perlu melakukan kajian dengan mempertimbangkan kerapatan jumlah penduduk dan sebaran satuan pendidikan di Jakarta.
Sistem zonasi berbasis RT/RW dinilai merupakan sistem zonasi paling tepat untuk menghindari potensi persoalan akibat kerapatan hunian calon peserta didik dibandingkan dengan sistem zonasi berdasarkan titik koordinat seperti yang dilakukan di daerah lain.
Kepala Pemeriksaan Ombudsman Jakarta Raya Rully Amrulloh menambahkan di wilayah yang kerapatannya tidak sepadat Jakarta pun, setiap tahun banyak laporan dari orang tua murid.
Laporan itu terkait penentuan titik koordinat yang tidak akurat sehingga harus dilakukan penghitungan antara orang tua dan operator.
Penentuan titik koordinat yang tepat sangat penting agar tujuan mendekatkan siswa dengan sekolah terdekat benar-benar tercapai.
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2021