Keberhasilan China dalam menata dan membangun kekuatan ekonominya oleh sebagian besar kalangan dinilai sebagai sebuah prestasi yang perlu diikuti bila hendak mencapai kemakmuran terlebih dalam situasi perekonomian global yang tidak menentu.
Pemikiran untuk mengikuti langkah China dalam membangun perekonomian nasionalnya juga menjadi wacana di dalam negeri Indonesia. Dengan luas wilayah yang hampir sama, jumlah penduduk yang juga besar serta sumber daya alam yang melimpah, Indonesia tentu bisa mengikuti langkah China.
"Reformasi gelombang pertama sudah kita laksanakan. Kita sekarang memulai reformasi periode berikutnya. Sekarang ini kita dengar mulai ada pertanyaan apakah sistem ketatanegaraan dan kehidupan politik seperti ini yang memang hendak kita bangun dan kita tuju, itu yang mengemuka di tahun-tahun terakhir ini," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam acara buka puasa bersama sejumlah pimpinan partai politik peserta deklarator SBY-Boediono di Puri Cikeas, Bogor, Minggu (5/9).
Presiden mengatakan untuk menjawab pertanyaan itu diperlukan pemikiran yang jernih dan kemauan keras untuk mewujudkannya, bukan hanya sekedar diskusi dan perdebatan semata-mata.
"Cara respon itu yang diperlukan, bukan diskursus dan aksi reaksi saja. Meski di alam demokrasi itu diniscayakan, tapi kita tidak boleh hanya berputar dalam suatu diskursus dan tidak hasilkan format baru seperti apa kehidupan bernegara yang tepat kita jalankan," katanya.
Kepala Negara yang dalam acara tersebut didampingi Wakil Presiden Boediono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono serta Herawati Boediono mengatakan tantangan Indonesia ke depan tidak semakin ringan.
"Dua tahun lalu dunia diguncang resesi ekonomi dunia. Dengan terjadinya krisis itu sesungguhnya sekarang ini sedang dilakukan penataan baru dalam kehidupan di seluruh dunia," ujar Presiden.
Pengalaman yang dipetik dari terjadinya krisis ekonomi global tersebut, kata Presiden, setidaknya ada tiga hal yang dapat dipahami yaitu tata ekonomi dunia ditata ulang, berkembangnya geopolitik yang berubah dibandingkan sebelumnya serta adanya pilihan baru dalam sistem politik dan ekonomi.
Pilihan dalam sistem politik dan ekonomi, Presiden mencontohkan Konsensus Washington dan Konsensus Beijing.
"Dalam kaitan itu semua ada sebuah negara, Republik Rakyat Tiongkok, yang tengah menjadi perhatian dunia. Punya penduduk terbesar, ekonomi tumbuh tinggi dan sekarang ekonomi nomor dua. Stabil dan kondusif untuk pembangunan ekonomi, state capitalism dan orang mulai bertanya tidakkah model ini diikuti?" ujar Presiden.
Presiden Yudhoyono kemudian membandingkan antara Konsensus Washington dengan Konsensus Beijing. Keduanya, menurut Yudhoyono kini menduduki peringkat pertama dan kedua dalam ekonomi dunia.
Menurut dia, dari sisi pendekatan ekonomi, Konsensus Washington menggunakan pendekatan kapitalisme pasar sementara Konsensus Beijing menggunakan pendekatan kapitalisme negara.
"Konsensus Washington mengedepankan `freedom` dan `human rights`, sementara Konsensus Beijing tekankan stabilitas dan order. Konsensus Washington percaya invisible hand, Konsensus Beijing percaya visible hand dan Konsensus Washington menggunakan sistem demokrasi sementara Konsensus Beijing menggunakan sistem otoritarian yang berpendapat terlalu banyak kebebasan dan hak asasi manusia bisa membuat kondisi politik tidak stabil," katanya.
Melihat karakteristik keduanya, Kepala Negara mengatakan sebetulnya Indonesia dalam rekam jejak sejarahnya sudah pernah mengikuti sistem politik yang liberal, sistem politik terpimpin hingga otoritarian pada masa Orde Baru.
"Kita harus berani mengatakan tiga model itu ternyata menimbulkan masalah dan bukan itu yang kita pilih, jangan ulang impementasi model itu yang berakhir pada krisis politik dan tidak cocok diterapkan di negara kita," ujar Presiden, menegaskan.
Konsensus Jakarta
Presiden mengatakan boleh jadi Konsensus Jakarta bisa diwujudkan melalui enam pilar.
Pilar pertama adalah menjalankan demokrasi bersama penegakan hukum sekaligus menjaga stabilitas.
Pilar kedua adalah peranan pemerintah dalam ekonomi dijalankan tapi nilai konstruktif dalam kaidah pasar agar kompetitif tidak boleh diabaikan.
Pilar ketiga, menurut Presiden adalah meskipun ekonomi nasional sudah terintegrasi dengan ekonomi internasional namun bukan berarti multinasional corporation yang diutamakan namun juga memperhatikan usaha kecil dan menengah.
"Elemen yang keempat, pertumbuhan penting namun harus diikuti pemerataan dan keadilan sosial sekaligus pemeliharan lingkungan yang baik," katanya.
Pilar kelima, yang penting juga diperhatikan menurut Presiden, mendorong pasar domestik.
"Bila masyarakat kita semakin besar daya beli, maka pasar dalam negeri akan semakin kuat dan hidup," katanya.
Dan pilar yang keenam adalah pemerintahan presidential dengan sistem multipartai.
"Bangsa ini bangsa kita sendiri, kita sah dan dibenarkan untuk memikirkan sistem nasional yang cocok untuk bangsa kita. Kita tidak harus ikut-ikutan ambil model negara mana pun yang belum tentu bila diterapkan di Indonesia membawa keberhasilan," kata Presiden.
Ia mengingatkan, masa depan Indonesia bukanlah hanya milik elite poltik, namun bagaimana bentuk Indonesia dalam 20 tahun hingga 30 tahun ke depan juga harus melalui wacana publik yang mengakomodasi keinginan berbagai lapisan masyarakat.
Menurut Presiden, upaya-upaya untuk menyusun sistem nasional dan konsensus bagi masa depan Indonesia bukanlah monopoli elite politik semata namun juga ruang diskusi dan wacana dari publik diakomodasi sehingga semua pihak ikut serta mewujudkan sistem nasional bagi Indonesia di masa yang akan datang.
"Kita punya tanggung jawab. Saya senang bila parpol pikirkan itu semua. Kita semua sebagai pelaku, stake holder. Pemerintah, DPR, DPD tidak boleh monopoli apa pun. Mari kita buka ruang publik yang semakin luas," demikian Presiden.
(P008/H-KWR)
Oleh Panca Hari Prabowo
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010
Bagus sekali ulasan Anda. Setahun lalu saya menulis dalam ANTARANews , 10 Agustus 2009 , mengenai Bijing Konsensus. Dan dalam bahasa Inggeris dalam majalah IMAGE, Agust 2009 issue.
Saya harap komentar ini mendapat perhatian Anda.
dari
Bob Widyahartono