Jakarta (ANTARA) - Yayasan Lentera Anak bersama dan beberapa pihak mendorong percepatan revisi Peraturan Pemerintah (PP) omor 109 Tahun 2012 agar dapat mengendalikan dan mengurangi jumlah perokok anak.
"Apa yang bisa kita lakukan lagi untuk memastikan Kementerian Kesehatan on the track-nya, dia ingin melanjutkan, dia ingin segera menyelesaikan revisi PP. Saya kira itu jadi PR (pekerjaan rumah) kita bersama," kata pengacara Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) Indonesia Tubagus Haryo Karbiyanto dalam diskusi virtual Pengendalian Tembakau, Jakarta, Jumat.
Revisi PP Nomor 109 Tahun 2012 tersebut seharusnya dilakukan pada 2018 atau sesuai Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun 2018.
Namun, hingga saat ini belum ada titik terang penyelesaiannya. Tubagus menuturkan mulai muncul "anggapan" bahwa revisi itu tidak penting. Padahal justru kunci pengendalian jumlah perokok anak ada pada revisi PP Nomor 109 Tahun 2012 yang mengatur pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan.
Tubagus mengatakan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) telah menyurati Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan kebudayaan untuk mengklarifikasi proses revisi PP Nomor 109 Tahun 2012.
Menurut Tubagus, PP Nomor 109 Tahun 2012 adalah bentuk dari pelemahan regulasi karena yang terjadi adalah pasal-pasal dan ayat-ayat yang ada di PP merupakan hasil kompromi atau pelemahan dari suatu draf yang tadinya kuat sehingga dari 2009 ke 2012 perlu waktu tiga tahun untuk berjibaku untuk mewujudkan PP itu.
"Revisi PP ini sebenarnya sudah mulai Tahun 2018, tapi Tahun 2021 ini sempat mandek juga," tuturnya.
Tubagus mengatakan ada tiga "senjata" utama yang digunakan industri rokok untuk intervensi pada suatu kebijakan, yakni menghilangkan, melemahkan dan menunda.
"Kalau tidak bisa di-diluting (dilemahkan) maka mereka pakai senjata ketiga yaitu delay (menunda), ada sebuah kebijakan mungkin kebijakan itu kuat tapi pelaksanaannya dimolor-molor (diperlambat/ditunda-tunda) sehingga mungkin nanti dengan harapan kalau itu dimolor-molor orang jadi lupa ada aturan itu dan aturan itu tidak bisa dilaksanakan," tuturnya.
Tubagus menuturkan dalam kurun waktu tiga bulan terakhir, sedikitnya ada empat isu yang mencoba mengatakan bahwa revisi PP Nomor 109 Tahun 2012 itu tidak penting dan tidak relevan. Isu pertama adalah industri rokok itu baik-baik saja, tidak perlu lagi ada utak-atik kebijakan karena mereka adalah penyumbang pendapatan negara melalui cukai.
"Ketika revisi itu coba mengutak-atik tentang larangan iklan yang agak lebih ketat, mereka bilang itu juga tidak relevanlah karena kan selama ini baik-baik saja, Undang-undang Penyiaran saja masih membolehkan kok masa PP yang kelasnya di bawah undang-undang mau mengatur itu lebih lanjut kayak gitu," ujarnya.
Padahal, cukai terhadap industri rokok itu merupakan denda karena terjadinya perilaku hidup tidak sehat ada di tengah masyarakat, yakni meroko yang merusak kesehatan.
Isu lain adalah buruh dan petani yang selama ini dijadikan tameng. Kemudian, isu COVID-19 sehingga menunda-nunda revisi.
"Nih COVID-19 masih eksis ngapain juga ngurusin yang tidak ada kaitannya dengan COVID-19. Hingar bingar itu apakah akan mempengaruhi Kementerian Kesehatan dan akan mengurungkan niatnya? Kita harapkan tidak begitu," tuturnya.
Tubagus mengatakan harus bersama-sama untuk mengawal revisi PP Nomor 109 Tahun 2012 agar dapat berjalan dengan baik.
Dengan revisi PP, maka diharapkan dapat mengacu pada upaya menurunkan tingkat prevalensi perokok anak.
Prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun di Indonesia meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen atau sekitar 3,2 juta anak pada 2018 menurut Riset Kesehatan Dasa (Riskesdas) 2018.
Melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah sudah memberikan arahan kebijakan dan strategi melarang total iklan dan promosi rokok untuk menargetkan prevalensi perokok anak turun menjadi 8,7 persen pada 2024.
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021