Tokyo (ANTARA) - Pasar saham Asia mengikuti Wall Street lebih rendah pada awal perdagangan Jumat pagi, ketika tanda-tanda pemulihan Amerika Serikat yang menguat mendorong inflasi yang diprediksi lebih tinggi dan pengurangan stimulus Federal Reserve.
Imbal hasil obligasi pemerintah AS melonjak, mengangkat dolar dan memukul saham teknologi, setelah data ketenagakerjaan yang lebih baik dari perkiraan semalam meningkatkan ekspektasi angka yang kuat untuk data penggajian (payrolls) nonpertanian pada Jumat waktu setempat, sementara ukuran aktivitas sektor jasa naik ke rekor tertinggi.
Indeks Nikkei Jepang turun 0,8 persen di awal sesi Asia, sementara indeks MSCI dari saham Asia Pasifik di luar Jepang turun 0,3 persen. Demikian pula, saham-saham unggulan China tergelincir sekitar 0,1 persen pada pembukaan perdagangan.
Di Wall Street, indeks S&P 500 kehilangan 0,4 persen, sedangkan indeks Komposit Nasdaq mengalami penurunan 1,0 persen. Indeks Dow Jones Industrial Average bernasib relatif lebih baik, tergelincir hanya 0,1 persen.
Saham-saham AS mendapat sedikit kelegaan menjelang penutupan di tengah laporan bahwa Presiden Joe Biden bersedia berkompromi atas usulan kenaikan pajak perusahaan.
Imbal hasil obligasi pemerintah AS 10-tahun naik setinggi 1,6320 persen di Asia, setelah menguat hampir empat basis poin penuh semalam.
Indeks dolar yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama lainnya menahan reli 0,7 persen pada Kamis (3/6/2021), terbesar sejak April, berada di sekitar 90,50.
"Suku bunga riil AS telah bergerak lebih tinggi - tidak bagus untuk risiko atau sentimen," Chris Weston, kepala penelitian di pialang Pepperstone di Melbourne, menulis dalam sebuah catatan kepada kliennya.
"(Saham) Teknologi terlihat sangat goyah."
Sementara pejabat Fed secara konsisten mengatakan mereka memperkirakan tekanan inflasi saat ini bersifat sementara dan agar kebijakan moneter ultra-longgar tetap di tempat untuk beberapa waktu, mereka juga semakin menggembar-gemborkan perlunya setidaknya mulai berbicara tentang pengurangan stimulus.
Presiden Fed New York, John Williams mengatakan pada Kamis (3/6/2021) bahwa ekonomi AS masih jauh dari titik di mana bank sentral mungkin mulai menarik dukungannya, meskipun masuk akal bagi para pejabat untuk mulai membahas opsi mereka untuk menyesuaikan kebijakan.
Ketua Fed Jerome Powell berbicara tentang bank sentral dan perubahan iklim pada konferensi di hari global nanti.
Investor dengan hati-hati menguraikan data ekonomi untuk mengukur apakah inflasi dapat terbukti cukup kuat untuk memaksa The Fed melakukan pengurangan stimulus.
Bulan lalu, angka penggajian nonpertanian yang jauh lebih lemah dari perkiraan memukul mundur ekspektasi tersebut, melemahkan imbal hasil obligasi pemerintah dan dolar. Bulan ini, para ekonom memperkirakan gaji swasta kemungkinan meningkat sebesar 600.000 pekerjaan pada Mei, setelah naik hanya 218.000 pada April.
"Jelas, pedagang melakukab short covering dolar ke dalam data pekerjaan," tulis Weston dari Pepperstone.
"Saya bahkan tidak akan mencoba dan memprediksi yang satu ini, ini adalah lotere, meskipun yang disebut 'angka bisikan' mendekati 790.000."
Emas tetap melemah setelah penurunan 2,0 persen pada Kamis (3/6/2021), terbesar sejak Februari, di tengah dolar yang lebih kuat.
Minyak mentah mundur dari tertinggi lebih dari dua tahun pada Jumat, setelah stok minyak mentah mingguan AS turun tajam sementara persediaan bahan bakar naik lebih besar dari yang diperkirakan.
Brent berjangka turun 0,4 persen atau 25 sen menjadi 71,06 dolar AS per barel, setelah menyentuh level tertinggi sejak Mei 2019 di awal sesi Kamis (3/6/2021). WTI AS turun 0,3 persen atau 23 sen menjadi 68,58 dolar AS per barel, dari tertinggi 69,40 dolar AS sehari sebelumnya, terkuat sejak Oktober 2018.
Baca juga: Pasar saham Asia berhati-hati jelang laporan inflasi AS, Bitcoin jatuh
Baca juga: Analis: Investor global tak akan berpaling dari pasar saham Asia
Baca juga: Pasar saham Asia dibuka menguat, fokus pertemuan Fed dan PDB AS
Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2021