Jakarta (ANTARA News) - Pakar Hukum Internasional, Hikmahanto Juwana, mengatakan, perundingan batas wilayah laut antara Indonesia dan Malaysia tidak mungkin dipercepat atau diselesaikan dalam waktu singkat karena kedua pihak akan mempertahankan klaim masing-masing.

"Kesepakatan atas perbatasan wilayah, terutama di laut, tidak akan mungkin dilakukan dalam waktu yang singkat, apalagi dipercepat. Terlebih dalam suasana ketegangan antardua negara," kata Hikmahanto di Jakarta, Jumat.

Hikmahanto yang juga Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia menjelaskan, dalam perundingan batas wilayah laut, masing-masing negara akan mempertahankan klaim atas wilayahnya karena menyangkut kedaulatan atau hak berdaulat.

Di wilayah laut, kedaulatan terkait dengan laut teritorial (territorial sea), sedangkan hak berdaulat terkait dengan Zona Ekonomi Eksklusif (Economic Exclusive Zone) dan Landas Kontinen (Continental Shelf).

Hikmahanto menjelaskan, dalam sebuah perundingan, masing-masing negara akan menyampaikan kepada pihak lawannya apa yang menjadi dasar bagi klaim sepihaknya. Suatu negara dapat menggunakan alasan historis, perjanjian internasional, bahkan hal-hal yang bersifat teknis dalam peta untuk memperkuat klaim itu.

Selanjutnya, para pihak akan saling mematahkan argumentasi yang disampaikan. Mereka akan berusaha meyakinkan bahwa argumentasi lawan penuh dengan kelemahan dan tidak dapat dipertahankan.

Bahkan, kata Hikmahanto, ada kecenderungan untuk mengulur waktu dalam setiap perundingan.

"Oleh karenanya proses perundingan batas wilayah memerlukan waktu yang panjang. Tidak saja dalam hitungan tahun, bisa jadi hitungan generasi," katanya.

Menurut Hikmahanto, perundingan semacam itu membutuhkan daya tahan dan kesabaran luar biasa. Bila salah satu negara tidak sabar maka ketidaksabaran itu harus dibayar mahal.

"Mereka akan melepaskan klaim kedaulatan dan atau hak berdaulat atas ketidaksabarannya," katanya.

Hikmahanto mengatakan, prinsip yang harus dipegang dalam perundingan batas wilayah adalah lebih baik sabar daripada harus kehilangan kedaulatan dan atau hak berdaulat.

Sebelumnya, dalam pidato resmi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, perundingan batas wilayah Indonesia-Malaysia dapat segera dilakukan dan dituntaskan agar tidak terjadi insiden yang mengganggu hubungan kedua negara.

"Pemerintah Indonesia berpendapat bahwa solusi yang paling tepat untuk mencegah dan mengatasi insiden-insiden serupa adalah, dengan cara segera menuntaskan perundingan," kata Presiden, di Mabes TNI Jakarta (1/9).

Presiden menjelaskan, perundingan yang dilakukan meliputi perundingan batas wilayah darat dan maritim termasuk di wilayah selat Singapura, dan perairan Sulawesi, atau perairan Ambalat.

"Indonesia berpendapat bahwa perundingan menyangkut batas wilayah ini dapat kita percepat dan kita efektifkan pelaksanaannya," kata Yudhoyono.

Presiden menambahkan, perundingan harus didasari niat dan tujuan yang baik, agar insiden-insiden serupa yang mengganggu hubungan baik kedua bangsa dapat dicegah dan ditiadakan.

Presiden menegaskan, memelihara hubungan baik dengan negara sahabat, apalagi dengan Malaysia, sangat penting.

"Tetapi, tentu kita tidak bisa mengabaikan kepentingan nasional, apalagi jika menyangkut kedaulatan dan keutuhan NKRI," katanya menegaskan.

Terkait itu, Presiden mengatakan dirinya telah mengirim surat kepada Perdana Menteri Malaysia, yang intinya menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas terjadinya insiden penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan oleh aparat Malaysia.

"Saya juga mendorong agar proses perundingan batas maritim dapat dipercepat dan dituntaskan," ungkap Yudhoyono.

Presiden menekankan, Indonesia menginginkan agar perundingan yang akan dilangsungkan kembali mulai 6 September 2010 dapat mencapai kata sepakat.(*)
(L.U002*F008/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010