Riset pimpinan Scott Fluke, sarjana muda lulusan Kansas State University bidang studi psikologi, ini terfokus pada kepribadian seseorang yang mengantar pada takhayul.
Fluke menerima dana senilai 500 dolar dari Doreen Shanteau Undergraduate Research Fellowship pada 2009 untuk bekerja dengan tim Russel Webster, mahasiswa psikologi, Shorewood, Illinois, dan Donald Saucier, seorang profesor psikologi.
Demi proyek, "Re-Examining the Form and Function of Superstition," tim peneliti ini mendefinisikan takhayul sebagai kepercayaan dalam hubungan kasual antara tindakan, obyek atau ritual dan hasil yang tidak berkaitan.
Prilaku yang mempercayai takhayul seperti itu bisa termasuk tindakan-tindakan seperti mengenakan kaos keberuntungan atau jimat keberuntungan.
Setelah menyelenggarakan dua penelitian, para periset membuat tiga alasan untuk tiga prilaku yang mempercayai takhayul: seseorang menggunakan takhayul untuk mengendalikan ketidakpastian, untuk mengurangi perasaan tidak berdaya, dan karena adalah lebih mudah mempercayai takhayul ketimbang menemukan strategi untuk mengatasi masalah.
"Orang kadang bersandar pada takhayul sebagai rintangan. Itu alat yang mereka pikir bisa membantu," kata Saucier, seperti dikutip ScienceDaily.
Pada penelitian pertama, para periset mengajukan kuisoner kepada 200 mahasiswa tingkat akhir, menanyakan seberapa pesimis mereka, apakah mereka mempercayai nasib dan takdir, apakah mereka suka mengendalikan dirinya, dan sejumlah pertanyaan lainnya.
Salah satu penemuan terpenting adalah orang yang mempercayai nasib dan takdir mengendalikan hidup mereka kemungkinan percaya takhayulnya lebih besar.
Pada penelitian kedua para periset ingin mengetahui bagaimana reaksi peserta riset terhadap kematian, dan meminta mereka menuliskan perasaan mereka mengenai kematiannya sendiri.
Tim terkejut saat menemukan tingkat kepercayaan peserta riset terhadap takhayul menurun saat mereka memikirkan kematian mereka sendiri, yang membuat para periset menyebut kematian sebagai situasi ketidakpastian yang ekstrem.
"Kami berteorisasi bahwa saat orang memikirkan kematian, mereka akan lebih mempercayai takhayul guna meningkatkan kontrol atas keadaan itu. Yang tidak kami kira adalah pemikiran mengenai kematian akan membuat orang merasa tidak berdaya dan ini benar-benar akan menggerus kepercayaan mereka pada takhayul," kata Fluke.
Fluke mendapat ide untuk risetnya ini saat menyadari ada banyak pertanyaan yang tidak terjawab mengenai psikologi dan takhayul. Dia memutuskan mengejar topik ini lebih lanjut sebagai proyek risetnya.
"Saya tertarik pada takhayul karena itu membuat saya frustasi saat orang berbuat sesuatu yang tidak masuk akal," kata Fluke.
Dia melanjutkan, "Itu membuat saya ragu saat orang lebih tergantung pada jimat keberuntungan untuk mengerjakan ujian dengan baik daripada belajar. Kami ingin tahu mengapa orang mau melakukan hal yang justru merugikan dirinya sendiri."
Riset ini adalah bagian dari program riset Saucier secara keseluruhan, dan tim saat ini menyiapkan hasil-hasil penelitian untuk dipublikasikan.
Saucier menawarkan beberapa tips agar kita tidak mempercayai takhayul:
*Jangan percaya kata sial dan kendalikanlah situasi. Kadang-kadang kita menggunakan kesialan untuk membenarkan kita menyalahkan diri sendiri. Tetapi, kita harus fokus pada apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi situasi sulit di kali pertama.
*Jadilah orang yang tegas dan proaktif. Orang yang kurang tegas lebih mempercayai takhayul, sementara mereka yang proaktif akan kurang mempercayai takhayul.
*Jangan berada dalam keadaan di mana Anda harus mempercayai nasib buruk (sial). Kesialan tidak akan pernah ada jika hanya hal baik yang terjadi. Saat sesuatu yang buruk terjadi yang Anda sebut sial, maka gunakan itu sebagai mekanisme unbtuk mengatasi masalah setelah kejadian, bukan sebelum peristiwa terjadi.(*)
ENY/AR09
Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010