Ini yang perlu disadari bersama. Bahwa itu harga diri bangsa, keselamatan, dan kemudian pelanggaran ini bisa mengancam bangsaJakarta (ANTARA) - Komandan Sekolah Komando Kesatuan TNI Angkatan Udara (Dansekkau) Kolonel Pnb Firman Wirayuda mendorong adanya payung hukum yang dapat memidanakan pelanggaran pada ruang udara nasional demi menjaga kedaulatan dan keamanan NKRI.
Pasalnya sejauh ini pelanggaran yang ada hanya diberikan sanksi administrasi, padahal aksi menerobos dan aktivitas lain yang dapat mengancam kedaulatan dan keamanan NKRI di ruang udara nasional merupakan bagian dari tindak pidana yang harus diberikan hukuman pidana, kata Firman saat ditemui pada sela-sela sesi seminar di Gedung Ksatrian Sekkau, Jakarta, Rabu.
"Itu mungkin jadi celah yang kami lihat belum adanya ketegasan dari negara untuk pengelolaan ruang udara ini. Artinya, belum ada integrasi aturan-aturan yang ada, karena sifatnya masih sektoral. Memang ini sulit, karena harus mengakomodasi semua kepentingan," kata dia menambahkan.
Dalam kesempatan itu, ia menegaskan bahwa banyak pelanggaran di ruang udara nasional bukan sekadar pelanggaran izin atau administrasi, tetapi juga perbuatan yang berpotensi mengancam kedaulatan.
"Ini yang perlu disadari bersama. Bahwa itu harga diri bangsa, keselamatan, dan kemudian pelanggaran ini bisa mengancam bangsa," tutur Dansekkau.
Sejauh ini, 12 kementerian/lembaga terkait telah membuat kesepakatan bersama untuk koordinasi tata kelola ruang udara. Namun, kesepakatan bersama itu masih membutuhkan payung hukum sehingga adanya pelanggaran dapat ditindak tegas dan pelaku pun jera, ujar Firman.
Tidak hanya itu, ia juga mendorong pemerintah dapat membuat peraturan turunan dari Undang-Undang No.34/2004 tentang TNI dalam bentuk peraturan pemerintah sehingga TNI AU punya dasar hukum yang kuat sebagai penegak hukum terhadap pelanggaran di ruang udara nasional.
"Dalam melaksanakan penegakan (hukum-red) tersebut, peran TNI AU tidak terwadahi, dan untuk selanjutnya (dibutuhkan-red) peraturan pemerintah," ucap Dansekkau menambahkan.
Selama ini, TNI AU menyerahkan hasil penyidikan 1x24 jam kepada kepolisian. Namun, sanksi-nya masih sebatas administratif.
"Kalau hanya administrasi ini yang kami khawatirkan. Kenapa? Dari sekian tahun pelanggaran itu tidak ada yang berkurang bahkan cenderung meningkat. Artinya, sanksi yang diberikan belum memberikan deterrence effect (efek jera-red) kepada para pelanggar," ujar dia menerangkan.
Walaupun demikian, Dansekkau menjelaskan upaya itu merupakan tugas bersama yang harus jadi perhatian seluruh kelompok masyarakat termasuk pemerintah dan DPR RI.
Dalam sesi Seminar Nasional bertajuk "Sinergitas Pengelolaan Ruang Udara Nasional" di Jakarta, Rabu, Kepala Staf TNI Angkatan Udara (Kasau) Marsekal TNI Fadjar Prasetyo memaparkan beberapa pelanggaran yang cukup jadi perhatian, baik oleh maskapai penerbangan sipil dan militer.
"Pada Tahun 2018 dan 2019, TNI Angkatan Udara melaksanakan intercept (menghalau-red) penerbangan sipil yang melintas tanpa izin di wilayah udara bagian barat Indonesia. Selanjutnya di wilayah timur Indonesia, ratusan airstrip (landasan pacu-red) yang belum sepenuhnya dikelola pemerintah dan masih aktif dilalui penerbangan perintis yang tidak bisa diawasi secara komprehensif. Berbagai operasi penerbangan ini berpotensi digunakan untuk kegiatan ilegal," papar Kasau.
Kasau juga memaparkan angka penerbangan pesawat militer asing di berbagai wilayah Indonesia masih cukup tinggi. Ia juga menyebut adanya potensi ancaman pada pesawat nirawak mulai dari drone sampai High Altitude Pseudo Satellite (HAPS).
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021