Baghdad (ANTARA News/Reuters) - Irak merayakan kedaulatannya menyusul berakhirnya operasi tempur Angkatan Bersenjata Amerika Serikat (AS) di negara itu hari Selasa.
Berakhirnya operasi militer AS itu tidak serta merta diikuti dengan berhentinya aksi kekerasan dan kebuntuan politik di Irak.
Namun Irak mengingatkan negara-negara lain agar tidak mencapuri urusan dalam negerinya di saat pasukan AS hengkang dari negara itu.
Jumlah pasukan AS di Irak dikurangi menjadi 50 ribu orang sebelum tanggal berakhirnya operasi tempur AS diumumkan 31 Agustus ini.
Keputusan Presiden AS mengurangi jumlah pasukannya di Irak itu merupakan bagian dari janjinya mengakhiri perang yang disulut pendahulunya, George W Bush.
Enam brigade pasukan AS yang masih ada akan mengubah fokus misinya dari bertempur menjadi ikut melatih polisi dan tentara Irak.
Misi melatih itu menjadi bagian dari upaya AS mempersiapkan Irak mengambil alih tanggungjawab penuh keamanan saat dilakukan penarikan penuh pasukan AS akhir 2011.
"Hari ini (Selasa), Irak berdaulat dan independen," kata Perdana Menteri Nuri al-Maliki dalam pidato televisinya kepada rakyat Irak.
Dengan penarikan pasukan AS itu, hubungan bilateral Irak dengan AS pun memasuki era baru sebagai dua negara berdaulat, katanya.
Presiden Obama telah menjanjikan penarikan pasukan AS dari Perang Irak kepada para pemilihnya dalam Pemilu.
Perang Irak itu sendiri disulut mantan presiden George W.Bush untuk menghancurkan apa yang diklaimnya sebagai senjata pemusnah massal.
Senjata nuklir seperti yang dituduhkan Bush tak pernah ditemukan sejak AS menginvasi Irak tahun 2003.
Petualangan AS di Irak itu menghabiskan dana hampir satu triliun dolar AS. Selain itu, sedikitnya 4.400 serdadu AS dan lebih dari 100 ribu warga sipil Irak tewas.
Berkaitan dengan kondisi politik Irak, Pemerintah AS telah mengimbau para pemimpin Irak agar segera membentuk pemerintahan baru hasil Pemilu Maret lalu.
"Irak harus bergerak dengan rasa urgensi," kata Wakil Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Ben Rhodes kepada pers di atas Pesawat Kepresidenan "Air Force One", Selasa.
Pemilu Irak Maret lalu gagal menghasilkan pemenang yang bisa diterima semua pihak.
"Sudah waktunya turun menangani isu-isu utama. Itulah yang sepatutnya dilakukan para pemimpin Irak beberapa hari belakangan ini," katanya.
Perundingan tentang bagaimana membangun koalisi antara Perdana Menteri Nuri al-Maliki dan mantan PM Iyad Allawi sudah berulang kali gagal.
Kondisi ini mengancam terjadinya kevakuman politik di Irak di tengah tak berhentinya aksi kekerasan.
"Kami meyakini pemerintahan yang inklusif dan mewakili hasil Pemilu demokratis yang sudah dilakukan. Dan kami percaya rakyat Irak bergerak maju untuk mencapai tujuan," kata Ben Rhodes.(*)
(Uu.R013/R009)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010