Matahari di atas Selat Madura tertutup awan, sementara sebagian tanah di wilayah pesisir Bangkalan basah oleh rinai hujan.
Fenomena itu bagian dari pertanda musim kemarau basah. Meskipun mendung, udara pada siang hari itu cukup menggerahkan.
Ular dan biawak pun lamat-lamat keluar dari semak belukar untuk sekadar mencari kesegaran dengan bermain gemercik air di kali.
Dua ekor binatang melata itu pun seakan tak terusik oleh aktivitas seorang perempuan separuh baya di sekitar kali di Desa Sukolilo Timur, Kecamatan Labang, Kabupaten Bangkalan.
Batu seukuran buah pepaya yang diperolehnya dengan menggali tanah dikumpulkannya di tempat tersendiri. Setelah dimasukkan ke dalam keranjang, batu itu dipanggulnya. Kakinya yang kuat menaiki jalan setapak yang menanjak menuju rumahnya.
Batu-batu yang dipanggulnya itu pun dijatuhkannya di atas pekarangan samping rumahnya, persis seorang pegulat wanita saat membanting lawannya di atas matras hingga menimbulkan suara, "Brug.....!"
Tak lama kemudian, seorang gadis kecil menyodorkan palu. Sejenak dia mengusap peluh yang membasahi wajahnya sebelum memulai pekerjaan lanjutan, mencincang batu-batu seukuran buah pepaya itu menjadi seukuran ibu jari.
"Selagi masih ada hujan, pekerjaan ini terasa agak berat," kata Siti Riwati, saat ditemui di sela-sela kesibukannya di halaman samping rumahnya itu, Minggu (29/8).
Selain berpengaruh terhadap berat massa, kandungan air di dalam bebatuan yang telah bertahun-tahun tertimbun di dalam tanah pegunungan itu mengakibatkan batu tidak mudah dipecah.
Dibutuhkan tenaga ekstra untuk mencacah batu-batu itu menjadi beberapa bagian yang lazim disebut sebagai batu kerakal atau batu koral. Batu yang bentuknya tak beraturan dan bersudut runcing itu biasa digunakan untuk campuran bahan cor dan permukaan jalan sebelum diaspal.
Meskipun demikian, tidak ada isyarat menyerah yang tergambar pada gurat wajah janda berusia 45 tahun itu. "Setiap hari seperti ini," kata Riwati mengenai batu yang menjadi menu kehidupan sehari-harinya itu.
Di sela-sela perbincangan, seorang gadis kecil keluar dari rumah dan menghampiri ibunya yang sibuk oleh pekerjaannya itu. Mulut si gadis kecil itu didekatkan pada telinga ibunya untuk menyampaikan sebuah pesan.
Riwati pun beranjak dari "dingklik" yang didudukinya setelah tangan gadis itu menariknya terlalu kuat dan masuk ke dalam rumah beberapa saat untuk memberikan penjelasan.
Pesan akan sifat posesif terhadap ibunya terpancar dari sorot mata gadis itu. "Sejak usia enam bulan, dia ditinggal bapaknya. Jadi, sama saya seperti itu," katanya tentang anak bungsunya bernama Siti Hasanah yang tak mau lepas dari dekapannya.
Tatapan mata bocah berusia delapan tahun yang masih duduk di bangku kelas IV SD Negeri Sukolilo Timur itu menyiratkan kecurigaan kepada tamu, terutama laki-laki yang tak dikenalnya.
"Meskipun yang datang ke sini biasanya orang-orangnya Pak Lurah yang mau mengangkut batu, dia tetap seperti itu," kata Riwati yang bertekad bulat tidak mau menikah lagi setelah suaminya meninggal sekitar tujuh tahun silam itu.
Ia tetap mengikuti kata hatinya sebagai orang tua tunggal yang bertanggung jawab penuh atas masa depan anak-anaknya. Kalau pun dia memilih menjadi suami orang, tentu dia tidak akan bertahan menjanda selama tujuh tahun lebih. Setidaknya, ketika ditinggal mati suami, usia Riwati sekitar 37 tahun dan masih sangat mungkin menikah dan memiliki anak lagi.
Bentuk cinta dan kasih sayangnya pada suami yang telah memberikannya enam orang anak itu lebih dari sekadar cukup. Baginya, cinta dan kasih sayang kepada seseorang tak cukup sekadar masalah biologis.
Jerih payahnya sebagai pemecah batu setidaknya terlihat dari keberhasilannya mengantarkan anaknya yang nomor empat tamat SMA dan saat ini telah mampu mencukupi kebutuhan hidupnya dengan bekerja sebagai buruh pabrik di kawasan Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER).
"Kini saya masih menanggung dua anak lagi," kata Riwati tentang kedua anaknya, Hasanah dan kakak perempuan yang masih duduk di bangku SMA dan tinggal di sebuah pondok pesantren di Labang itu.
Perempuan Mandiri
Siti Riwati adalah potret kehidupan seorang perempuan Madura yang mandiri, tangguh, tahan menderita, dan tak kenal lelah dalam menafkahi keluarganya.
Ia juga bagian dari sederetan perempuan desa di sekitar Jembatan Surabaya-Madura (Suramadu) yang terbiasa menghidupi keluarganya dengan memecah batu.
Peningkatan kesejahteraan sebagaimana janji para pemimpin negeri dan pejabat di daerah saat meresmikan pembukaan jembatan sepanjang 5,4 kilometer itu hingga kini belum dirasakan oleh masyarakat "Pulau Garam" itu.
Beruntung, masyarakat di sekitar Jembatan Suramadu itu bukanlah tipe orang yang hanya bisa berpangku tangan sambil menanti belas kasihan sang pemimpin.
Mereka menyekolahkan anak, mendapatkan pelayanan kesehatan, membeli obat, dan memenuhi hajat hidup sehari-hari dari jerih payah sendiri.
Mereka tidak mengenal Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) atau pun Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), sebuah program pelayanan kesehatan gratis yang seharusnya diperuntukkan bagi keluarga miskin. "Kalau ke dokter, saya tetap bayar Rp25 ribu," kata Riwati.
Untuk urusan makan, dia tetap membeli beras sesuai dengan harga pasar. Kalau pun mendapatkan beras untuk rakyat miskin (raskin), cukup untuk menutupi kebutuhan dua sampai tiga hari karena jatahnya hanya lima kilogram perbulan. Sementara kebutuhannya lebih dari jatah raskin itu.
Sudah lebih dari dua tahun, harga jual batu kerakal tak pernah beranjak dari level Rp3.000,00 per blek atau Rp150.000,00 per pikap.
"Sehari paling banter dapat menghasilkan enam sampai tujuh blek," kata Riwati yang sudah lebih dari 10 tahun menggeluti pekerjaannya itu.
Dia mengaku masih kalah dengan tetangganya, Soma. Perempuan renta berusia sekitar 95 tahun itu mampu menghasilkan delapan sampai 10 blek per hari.
Dari Soma lah, Riwati belajar menyulap batu gunung yang bertebaran di bawah tanah pekarangannya itu menjadi batu-batu kerakal yang siap jual.
Kalau dikalkulasi secara matematis, tentu jerih payah Riwati tidak akan mampu menutupi kebutuhan hidup sehari-hari bersama dua anak yang menjadi tanggungannya itu.
Bukan orang Madura, kalau tidak mampu berusaha. Ia pun turut memelihara kambing milik orang lain untuk bisa bertahan hidup pada zaman serba susah ini.
Saat ini di kandang yang berada di salah satu halaman rumah kerabatnya itu terdapat tujuh ekor kambing. Sesuai tradisi, pemelihara mendapat jatah separuh, sedangkan separuh lainnya menjadi bagian pemilik kambing itu.
"Tadinya ada orang menitipkan dua ekor kambingnya. Dari hasil perkawinan, kambing itu beranak dua. Dua kambing anakan inilah yang menjadi hak saya," kata Riwati.
Kemudian ada orang lain lagi yang menitipkan dua ekor kambingnya pada Riwati. Dan kambing itu pun kini beranak satu.
"Kambing itu menjadi tabungan. Sewaktu-waktu ada kebutuhan mendesak, kambing itu saya jual," katanya menuturkan.
Baginya, kemiskinan adalah sebuah batu. Secadas apa pun sebuah batu pasti akan luluh lantak juga bila disertai dengan usaha dan kemauan keras.
Ia pun mengajarkan anaknya untuk memerangi kemiskinan dengan menempuh pendidikan setinggi-tingginya.
"Setidaknya anak saya kelak tidak sesengsara ibunya. Kalau pun ditakdirkan seperti saya, mereka tetap harus bisa mandiri," kata Riwati seraya meninggalkan pekerjaannya untuk sejenak waktu memenuhi panggilan azan.
(M038/K004)
Oleh Oleh M. Irfan Ilmie
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010