Colombo (ANTARA News) - Jalannya agak terpincang, sementara bola matanya keruh merekam memori pedih yang memang pernah disaksikannya 20 tahun silam.
Dia kini telah berusia 30 dan hidup didampingi seorang istri dengan empat anak yang kondisinya mengundang iba siapapun.
Mohammad Aziz, begitu pria ini memiliki nama, mengisahkan nestapanya kini dan kenangan hitam di masa lalu yang menghantui hidupnya, ketika ANTARA menemuinya Jumat (27/9) di Puttalam, Srilangka barat laut.
"Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri ayah saya ditembak LTTE di kepalanya," kenangnya dalam Bahasa Tamil, dalam alur yang kadang berat, meninggi, lalu merendah.
LTTE adalah kepanjangan dari Liberation Tigers of Tamil Eelam. Mereka lebih dikenal dengan "Macan Tamil" saja.
Pada Oktober 1990, 80.000 muslim Jaffna, Mannar, Kilinochchi, Mullaithivu, dan Vavuniya di utara Srilangka diberi waktu dua kali 48 jam oleh LTTE untuk angkat kaki, padahal sudah bergenerasi-generasi muslim hidup di situ.
"Mereka menyampaikan pengumuman lewat pengeras suara di mesjid," kenang S. Marhana, warga Jaffna yang juga diusir LTTE seperti halnya Mohammad Aziz.
Marhana dan Aziz, seperti 90 persen dari total pengungsi muslim lainnya, hanya bisa berbahasa Tamil. Ironisnya, mereka justru dibinasakan LTTE yang juga Tamil. Mereka diusir hanya gara-gara muslim.
Padahal muslim di situ umumnya telah lama hidup berdampingan dengan warga Tamil Hindu, Tamil Kristen, dan warga Sinhala yang umumnya penganut Budha.
"Kami tak pernah menginginkan muslim pergi. Mereka memang berbeda agama, namun kami memakai bahasa yang sama. Pokoknya tak ada batasan di antara kami," kata Pathmarajah, warga Tamil berkeyakinan Hindu.
Pertikaian politik dan ambisi sejumlah oportunis yang telah merusak harmoni itu. "Ini semua gara-gara uang dan jabatan," kata Sanjeewa Hewabatagoda, orang Sinhala yang bekerja pada KBRI Colombo.
Mohammad Aziz sendiri bisa berbicara Bahasa Sinhala, bahasa yang digunakan Sanjeewa dan Lalith Candrawansa yang memandu ANTARA ke Puttalam.
Aziz adalah sedikit dari muslim Jaffna yang bisa berbicara Sinhala, namun tidak seperti Sanjeewa dan Lalith, mereka tak dapat berbahasa Inggris.
Kehujanan
Hampir semua muslim Srilangka utara yang diusir LTTE mengaku menyaksikan kekejaman perang, terutama kebengisan Macan Tamil yang menculik anak-anak mereka, tak peduli perempuan atau laki-laki, untuk direkrut menjadi tentara bocah.
Pengusiran muslim oleh LTTE berlangsung cepat dan efisien karena pada praktiknya mereka hanya memberi waktu dua jam kepada muslim untuk menyingkir.
"Jam lima pagi LTTE mendatangi desa kami dan pemimpinnya memerintahkan kami untuk segera meninggalkan Jaffna dalam waktu dua jam," kata Mohammad Yassin (56 tahun).
"Jika kami menolak perintah ini," sambung Aziz. "Maka mereka pasti menembak kami."
Kini, Macan Tamil takluk dan tak lagi mengancam Srilangka, setelah pemimpinnya yang dikenal biadab, Velupillai Prabhakaran, mati mengenaskan dalam kontak senjata dengan pemerintah Srilangka, Mei 2009.
Namun persoalan lain muncul. Pemerintah yang didominasi Sinhala yang menganut Budha dipandang banyak kalangan memarjinalkan kelompok mintoritas termasuk muslim, mungkin karena kebanyakan muslim adalah Tamil, etnis yang merasa diperjuangkan LTTE.
"Pertama mereka memberi kami 2.000 rupee (sekitar Rp150 ribu), kemudian berkurang menjadi 700 rupee (Rp80 ribu), dan lama-lama tak diberi apa-apa," kata seorang pria yang menolak mengungkapkan jati dirinya.
Dalam beberapa hal marginalisasi pemerintah terhadap minoritas bisa dimengerti, mengingat sebelum konflik, masyarakat Sinhala justru menjadi pihak yang paling diabaikan pemerintah kolonial Inggris dan pemerintahan pertama Srilangka pasca kemerdekaan.
Anehnya, ANTARA mendapati ironi di Puttalam, karena di daerah yang mayoritas muslim itu, para pengungsi asal Jaffna itu diabaikan warga muslim setempat.
Ketika Mohammad Aziz dan 120 keluarga lainnya hidup berhimpit-himpitan di bedeng-bedeng pengap seperti kandang kambing, tiga ratus meter dari situ, warga lama Puttalam yang muslim hidup seolah mengabaikan saudara mereka yang diusir dari kampungnya itu.
"Saya tak tahu, yang jelas kami telah lama hidup di gubuk-gubuk seperti ini," kata Aziz, lalu mengajak masuk ANTARA ke bedengnya.
Ukuran bedeng itu sekitar 4 X 6 meter, kira-kira empat kali wc terminal Kampung Rambutan, Jakarta. Padahal, di situ, tiga keluarga hidup sekaligus.
Atap bedeng terbuat dari sejenis daun rumbia, sedangkan dindingnya tersusun dari bata hitam seadanya, dipagari batang pohon bakau menyerupai pagar bambu di Indonesia.
"Kalau datang hujan pasti bocor dan kami kerap tak bisa tidur karena kehujanan," kata Aziz.
Harapkan Indonesia
Pengungsi muslim ini telah beranak pinak, hingga menciptakan dua generasi baru. Salah seorang generasi baru pertama yang lahir dan dibesarkan di kamp Puttalam ini adalah Sasitha Badu.
Perempuan berusia 20 tahun ini ditinggalkan ayahnya yang telah lebih dulu menghuni kamp. Susitha telah dinikahi seorang pria yang juga keturunan pengungsi Jaffna. Mereka berdua telah dikarunia seorang bayi.
Sama seperti Aziz, gubuk milik Susitha dihuni juga oleh lebih dari dua keluarga.
"Kami tergantung pada pemberian orang, karena kebanyakan dari kami bekerja sebagai pembuat garam yang upahnya tak seberapa," kata Susitha sambil menunjukkan sudut-sudut bedeng yang tak jelas mana dapur, ruang tengah, dan ruang untuk tidur itu.
Sejumlah pengungsi mengutarakan bahwa pemerintah memang membantu mereka, tapi jumlahnya tidak cukup untuk mereka. "Jadinya kami harus berbuat apa saja," kata Susitha.
Bantuan memang mengalir dari sejumlah negara, termasuk pemerintah Indonesia via KBRI Colombo dan sejumlah negara Timur Tengah. Tapi, jika selama 20 tahun pengungsi-pengungsi itu masih hidup di bedeng mengenaskan, tentu menimbulkan pertanyaan.
Pemerintah Srilangka sendiri menilai keadaan pengungsi muslim di Puttalam membaik. Sebagian telah kembali ke Jaffna dan wilayah lainnya, namun sebagian enggan kembali karena trauma dan khawatir kekejaman bakal menimpa mereka lagi.
Abdul Baiz, Wakil Menteri Pengembangan Peternakan Srilangka, saat buka puasa bersama KBRI Colombo, menyimpulkan bahwa kehidupan pengungsi muslim di Puttalam terus membaik.
"Itu konstituen saya. Telepon saya jika mau ke Puttalam, saya akan berada di sana," kata Abdul saat ANTARA menyampaikan rencana ke Puttalam keesokan harinya.
ANTARA memutuskan pergi tanpa memberitahu politisi muslim itu, demi mendapatkan gambaran nyata mengenai keadaan pengungsi Puttalam. Faktanya, keadaan memang tak sebaik seperti diceritakan Abdul Baiz.
"Banyak yang berkunjung ke sini dan mereka hanya mencatat dan mencatat, sementara bantuan tak sampai ke tangan kami," kata Muhammad Aziz, diamini beberapa pria yang mengerubunginya.
Saat mengetahui ANTARA dari Indonesia, Aziz berharap Indonesia membantu mereka memperbaiki kualitas hidupnya sehingga bisa segera meninggalkan gubuk-gubuk yang tak pantas dihuni manusia itu. (*)
ANT/AR09/ART
Oleh Jafar Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010