Jakarta (ANTARA) - Peneliti dari Pantau Gambut Agiel Prakoso menyatakan diperlukan sistem pemantauan yang dapat memperlihatkan kemajuan dari implementasi usaha restorasi di lahan gambut yang berada di area konsesi perusahaan.

"Perlu sistem pemantauan yang dapat menunjukkan kemajuan status implementasi restorasi di area konsensi," kata Agil, dalam acara diskusi bertema perlindungan ekosistem gambut di area berizin, yang dipantau secara virtual dari Jakarta, Jumat.

Sistem tersebut diperlukan karena publik juga perlu mengetahui secara rinci di mana saja area perusahaan pemilik konsesi yang telah melalui restorasi untuk lahan gambutnya.

Sampai dengan Tahun 2020, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) mengklaim telah melakukan restorasi di area konsensi seluas 645.834 hektare dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) telah melakukannya di lahan seluas 3.643.799 hektare.

Menurut Agil, kurangnya informasi detail terkait restorasi di lahan gambut area konsesi itu berbanding terbalik dengan implementasi restorasi di area non-konsesi yang dapat dilacak di platfom pemantauan, baik milik KLHK maupun BRGM.

Baca juga: BRGM: Masyarakat desa punya peran penting dalam upaya restorasi

"Informasi ini sangat penting diketahui oleh publik, karena seperti kita ketahui gambut ini berbasis ekosistem, landskap holistik, yang mana pengelolaannya, apabila satu wilayah dikelola akan berdampak pada pengelolaan lainnya," katanya.

Baca juga: BRGM siap angkut produk petani gambut ke toko online

Dalam kesempatan tersebut, Tenaga Ahli Utama Kedeputian I Kantor Staf Presiden (KSP) Trijoko Mohamad Soleh Oedin mengatakan perkembangan implementasi restorasi di area konsesi perlu menjadi perhatian bersama.

Baca juga: BRGM: Masyarakat penerima manfaat langsung rehabilitasi mangrove

"Intinya setiap kawasan konservasi di manapun juga posisinya apakah di konsesi maupun tidak di konsensi harus tetap dilindungi," kata Trijoko.

Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021