Jakarta (ANTARA News) - Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Tjatur Sapto Edi mengatakan bahwa amendemen konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan presiden tidak perlu diperdebatkan lagi.

"Karena usulan amendemen UUD 1945 untuk memperpanjang masa jabatan presiden telah ditolak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri, sehingga wacana itu tidak perlu lagi diperpanjang," kata Tjatur di Gedung DPR Jakarta, Jumat.

Pendapat senada dilontarkan oleh anggota Fraksi PDIP Gayus Lumbuun. Ia mengatakan, saat ini belum saatnya untuk dilakukan amandemen konstitusi, apalagi jika hanya untuk mengakomodasi keinginan memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode.

"Karenanya wacana amandemen itu tidak perlu digubris," kata Gayus.

Namun, anggota DPD asal Bengkulu Bambang Soeroso tidak sependapat dengan Gayus dan Tjatur soal amendemen yang belum waktunya untuk diubah lagi.

Menurut dia, konstitusi bisa diubah karena memang ada ketentuannya dalam pasal-pasalnya.

"Karenanya konstitusi Indonesia harus jadi living constitution yang bisa diamendemen sesuai dengan perkembangan zaman dan perubahan di masyarakat. Namun untuk melakukan perubahan konstitusi itu harus bertanya terlebih dahulu kepada rakyat," ujar Bambang.

Dari pantauan DPD, banyak aspirasi yang menghendaki dilakukannya penyempurnaan terhadap hasil-hasil amandemen konstitusi itu.

"Amandemen UUD 45 masih belum sempurna. Masyarakat banyak menginginkan adanya penyempurnaan UUD 45 itu," kata Bambang.

Grasi

Sementara itu, Terkait dengan grasi yang diberikan kepada mantan Bupati Kutai Kartanegera Syaukani Hasan Rais, Tjatur mengatakan, pemberian grasi kepada Syaukani sudah sesuai prosedur.

"Dari sisi administratif, pemberian grasi presiden sudah sesuai, tetapi masih ada yang harus dijelaskan lebih lanjut oleh Menkumham. Karenanya Komisi III DPR akan memanggil Menkumham untuk menjelaskan model perhitungan remisi itu," kata Tjatur.

Sedangkan menurut Gayus Lumbuun, dari aspek kemanusiaan, pemberian grasi kepada koruptor yang sakit mungkin masih bisa diterima. Tetapi akan menjadi pertanyaan dari aspek keadilan.

"Ada ribuan pengajuan grasi ke presiden yang menumpuk dan tidak disentuh. Karenanya dalam konteks pemberian grasi kepada koruptor saat ini, bisa merusak sistem hukum dan rasa keadilan masyarakat luas," kata Gayus.

(ANT-134/A041/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010