New York (ANTARA News) - Indonesia mengutuk pemerkosaan massal di wilayah konflik di Republik Demokratik Kongo (DRC) dan berharap dalam menindaklanjuti penyelesaian kasus tersebut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak bersikap sebagai `pemadam kebakaran` melainkan sebagai `tukang kebun`.
"Kita mengutuk keras kekerasan terhadap warga sipil. Di konflik apapun, seharusnya perlindungan terhadap rakyat sipil harus dijunjung tinggi," kata Wakil Tetap RI untuk PBB di New York, Duta Besar Hasan Kleib, kepada ANTARA News, Rabu.
Tim PBB urusan hak asasi manusia telah memastikan bahwa para anggota milisi Mai-Mai dan Pasukan Demokratik Pembebasan Rwanda (FDLR) melakukan serangkaian serangan ke sejumlah desa di propinsi Kivu Utara di DRC selama lebih dari empat hari pada awal Agustus.
FDLR merupakan kelompok bersenjata etnik Hutu yang terlibat dalam pembersihan etnis di Rwanda tahun 1994.
Sedikit-dikitnya 154 warga sipil di 13 desa yang berada di jalur sepanjang 21 kilometer di Banamukira di propinsi tersebut mengalami pemerkosaan antara 30 Juli dan 2 Agustus lalu.
Para penyerang juga menjarah rumah-rumah serta menghadang jalan dan melarang para warga berkomunikasi dengan dunia luar.
Personil Indonesia berjumlah 190 orang yang bergabung dengan Pasukan Penjaga Perdamaian PBB di DRC (MONUSCO) memiliki wilayah tugas di kawasan Dungu di Propinsi Oriental, yang letaknya relatif jauh dari propinsi itu.
"Pasukan kita memang jauh dari propinsi tempat terjadinya insiden. Tapi sebagai salah satu negara penyumbang pasukan ke DRC, kita sangat khawatir dengan terjadinya kekerasan terhadap warga sipil di sana (Kivu Utara, red)," kata Hasan.
Munculnya laporan tentang pemerkosaan massal biadab itu, ujar Hasan, harus dijadikan momentum oleh Dewan Keamanan PBB, negara di kawasan serta masyarakat internasional untuk mempercepat proses politik.
Indonesia melihat munculnya kasus pemerkosaan massal menunjukkan tidak adanya keamanan dan pemerintahan yang stabil di Kongo.
Kekerasan oleh para pemberontak dikhawatirkan akan sering muncul jika upaya menuju proses politik dan penyelesaian damai tidak segera ditingkatkan.
"Ini momentum untuk Dewan Keamanan, negara kawasan dan masyarakat internasional untuk mempercepat proses politik. Hanya dengan penyelesaian politiklah keamanan yang stabil bisa terjamin," kata Hasan.
Indonesia juga berharap agar PBB melakukan aksi yang lebih menyeluruh dalam membantu DRC mengatasi konflik dan kekerasan yang berlarut-larut di negara tersebut.
"Kita harap PBB tidak hanya seperti pemadam kebakaran, yang bereaksi ketika ada kasus mencuat. Sebaiknya perlu seperti tukang kebun, mengawasi sejak munculnya bibit-bibit yang kemudian berkembang sebagai pohon dan seterusnya," katanya.
Potensi berkembangnya konflik harus selalu diwaspadai dan dikelola dengan hati-hati, tambah Hasan.
Pemerkosaan massal di DRC itu sebelumnya juga telah dikecam keras oleh Sekjen PBB Ban Ki-moon.
Karena situasi yang demikian serius, Ban telah memutuskan untuk segera mengirim Asisten Sekjen PBB dari Departemen Operasi Penjaga Perdamaian, Atul Khare, ke DRC.
Ban juga telah menginstruksikan utusan khususnya untuk urusan Kekerasan Seksual di Daerah Konflik, Margot Wallstrom, untuk memimpin langkah-langkah yang diambil PBB dalam menindaklanjuti kasus pemerkosaan massal di DRC itu.
Republik Demokratik Kongo (DRC) --untuk membedakan dengan negara tetangganya Republik Kongo, merupakan negara yang telah bertahun-tahun dilanda perang saudara.
Kesepakatan damai dan pembentukan sebuah pemerintahan transisi telah ditandatangani pada tahun 2003.
Kendati demikian, pertikaian secara sporadis terus berlangsung, terutama di wilayah bagian timur.
Sebuah laporan mengungkapkan ada lebih dari 8.000 perempuan DRC mengalami pemerkosaan sepanjang tahun 2009, yang dilakukan oleh faksi-faksi yang bertikai, baik tentara pemberontak maupun tentara pemerintah.
Melalui mandat Dewan Keamanan tahun 1999, PBB mengirimkan pasukan penjaga perdamaian untuk memantau pelaksanaan perjanjian Lusaka tahun 1999, yakni kesepakatan gencatan senjata antara DRC dengan kelima negara di kawasan Afrika tengah yaitu Zimbabwe, Angola dan Namibia.
Pasukan penjaga perdamaian PBB di DRC (MONUSCO) --sebelumnya bernama MONUC-- saat ini berkekuatan lebih dari 22.000 personil yang berasal dari puluhan negara, termasuk Indonesia.
(K-TNY/M016)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010