Jakarta (ANTARA News) - Mantan Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) Kwik Kian Gie mengatakan, APBN tak akan pernah pro rakyat karena tingginya beban utang negara.

"APBN tak akan pernah pro rakyat sejak Pak Harto (Presiden Soeharto) lengser, utang menyadera APBN," katanya saat diskusi di Megawati Institute di Jakarta, Kamis.

Ia mengatakan, sejak krisis ekonomi yang melengserkan Presiden Soeharto, utang Indonesia membengkak tajam, terutama untuk membiayai krisis.

"Untuk utang dari obligasi rekapitulasi saja mencapai Rp430 triliun, belum lagi bunga yang harus dibayar Rp600 triliun, jadi totalnya Rp1.030 triliun. Itu baru obligasi rekapitulasi, belum BLBI," katanya.

Menurut dia, utang Indonesia terus membengkak. Begitu pula dengan pembayaran cicilan utang pokok dan bunga setiap tahunnya sangat membebani APBN.

Pada RAPBN 2011, cicilan untuk bunga utang saja telah mencapai Rp116,4 triliun, lebih tinggi hampir dua kali lipat dibandingkan dengan 2005 yang hanya Rp65,2 triliun. Sementara total utang mencapai Rp1.600 triliun lebih.

"Itu baru cicilan bunganya saja. Kalau sama dengan pokoknya cicilan mencapai Rp240 triliun atau 25 persen APBN," katanya.

Ia menambahkan, bila 25 persen APBN terserap untuk utang, 50 persen lainnya digunakan untuk membayar gaji pegawai negeri sipil, 25 persen lainnya digunakan untuk berbagai hal, mulai dari pembelian barang dan modal, perawatan hingga subsidi.

Hal ini telah membuat APBN sulit untuk pro rakyat. "Utangnya besar sekali, sementara pemerintah terus menambah utang, baik luar negeri atau melalui utang dalam negeri," jelasnya.

Menurut dia, APBN tidak akan pro rakyat bila pemerintah tidak progresif dalam masalah utang. Ia mengatakan, selama ini kita tidak pernah mau menegosiasikan utang dengan sungguh-sungguh.

"Kita ini penurut, mereka (pemberi utang) maunya apa, IMF maunya apa, Bank Dunia maunya, apa kita nurut saja, lha kita ini memang negara yang baik versi mereka. Kita ini juga penakut, ditakuti sedikit takut," katanya.

Padahal, menurut dia, kalau utang-utang tersebut tidak di negosiasikan kembali atau bahkan meminta agar utang dimoratorium (dihapuskan), maka dana sosial untuk kesejahteraan rakyat dipastikan akan terus berkurang.

"Ini masalah keberanian, masalah ketegasan, berani tidak pemerintah kita minta negosiasi lagi," katanya.(*)
(T.M041/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010