"Kalau dikalkulasikan dari Laut Arafura, Laut Sulu dan Laut China Selatan mencapai Rp50 triliun, tetapi kalau Kalbar saja itu bisa sampai Rp20 triliun," kata Gatot di Pontianak, Kamis.
Dijelaskan Gatot, Indonesia sendiri sedikitnya memiliki tiga pintu masuk untuk akses pencurian ikan, antara lain di China Selatan, Laut Arafura datangnya dari Australia, dan Laut Sulawesi yang datangnya dari Filipina.
"Khusus di Kalbar sendiri pelaku pencurian ikan itu banyak berasal dari Vietnam, Thailand, dan juga malaysia," terang Gatot.
Dari tiga negara tersebut, kata Gatot, pelaku pencurian ikan yang paling besar adalah Vietnam. "Karena disana perikanan itu sudah masuk dalam ranah industri. Sehingga mereka harus memenuhi kebutuhan ekspor," jelasnya.
Karena begitu tingginya industri perikanan di negara itu, lanjut Gatot, sehingga yang ditangkap lebih banyak dari daya tumbuh ikan.
Sementara itu, nelayan di Kalbar belum mengoptimalkan tangkapannya karena jenis kapal mereka yang masih kecil. "Khususnya yang berada ditengah 4-12 dari garis pantai," terang Gatot.
Untuk itu, jelas Gatot, Dinas Kelautan dan Perikanan Kalbar memprogramkan agar kapal-kapal nelayan khususnya di Kalbar dapat diperbesar.
"Agar dapat berlayar ke tengah perairan mengoptimalkan tangkapan ikannya," katanya yakin.
Tahun 2010 itu, DKP Kalbar sudah menangkap delapan buah kapal asing di wilayah perairannya. "Jika dikalkulasikan jumlah kerugian yang mereka lakukan itu dalam setahun saja mereka dapat menghasilkan 50 juta ton dalam operasi mereka secara ilegal itu," papar Gatot.
Gatot bertekad kedepannya DKP Kalbar lebih dapat mengintensifkan pengawasannya di wilayah perairan Kalbar untuk menumpas aksi penangkapan ilegal mereka tersebut.
(U.ANT-089/A027/P003)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010