Kandy, Srilangka (ANTARA News) - Berita Daily News, Srilangka, pekan lalu bahwa tiga juga orang bakal memasuki kota Kandy di tengah negeri berusia purba itu untuk mengikuti prosesi agung "Festival Perahara", membuat ANTARA penasaran karena selama ini hanya haji di Mekah dan misa suci Vatican yang diketahui dihadiri jutaan manusia.

Selasa, 24 Agustus 2010, bersama para diplomat dan Sekretaris Jenderal Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI) Philip K. Widjaja, ANTARA berkendara sejauh 120 km ke arah timur laut Colombo, menuju Kandy.

Kandy adalah ibukota kerajaan terakhir Srilangka dan dijadikan sebagai situs budaya atau "warisan budaya" oleh UNESCO.

Di kota inilah festival keagamaan bernama resmi Esala Perahara tersebut digelar, sementara acara dipusatkan di seputaran kompleks Kuil Gigi Suci Buddha atau Temple of the Sacred Tooth Relic. Dalam Bahasa Sinhala, namanya adalah Sri Dalada Maligawa.

Aktor utama sekaligus tontonan paling menarik dari festival berumur ribuan tahun ini adalah puluhan gajah yang berpawai dengan jubah-jubah raksasa nan megah.

"Tapi sekarang kami kesulitan mendatangkan gajah, padahal kami amat membutuhkannya," adu Direktur International Buddhist Affairs Sri Dalada Maligawa, Gamini Bandara kepada Philip Widjaja.

Secara halus Bandara memohon Indonesia yang lima juta penduduknya pemeluk Budha untuk menyumbangkan gajah-gajahnya guna mengganti gajah-gajah yang ada sekarang namun rata-rata tua.

"Enampuluh persen dari gajah-gajah itu terlalu tua untuk mengikuti rangkaian prosesi," kata Dela Bandara.

Saat Kandy disusuri pada petang harinya, atmosfer kota itu seketika berubah. Klaim Daily News di atas tampaknya benar, karena beberapa jam sebelum puncak Perahera digelar Selasa malam lalu, jalan-jalan telah dipadati ribuan orang yang antusiastis memenuhi rute festival.

"Mereka sudah menunggu dan mengkavling jalan sejak siang," kata Anura Rathnayake, pemandu Temple of Tooth, kepada ANTARA.

Yang mengagetkan adalah meski prosesi suci itu adalah ritual Budhisme, ribuan wisatawan asing ikut berjejer memenuhi trotoar, halaman toko, balkon-balkon gedung, dan setiap area yang menghadap rute pawai akbar itu.


70 Gajah

Sampai 1815, selama kekuasaan dinasti Kandy, pemimpin kuil menempati posisi setingkat menteri kabinet. Dia bertugas menjamin kebutuhan air sang raja dan menyelenggarakan prosesi suci meminta hujan.

Fungsi suci yang kemudian disebut Perahera itu bertahan hingga kini, terutama pada hari terakhir Esala Perahera.

Jika ada yang menyebut festival ini megah, maka itu tidaklah berlebihan. Gajah dan ribuan penari muda yang menyertainya, memang telah menyihir siapa pun.

Pada puncak festival tanggal 24 Agustus yang dihadiri tamu-tamu kehormatan dari mancanagara, termasuk Duta Besar RI di Srilangka Djafar Husein, puluhan gajah dan ribuan penari itu seolah berlomba mempersembahkan kelihaian sekaligus ketakziman iman yang optimal.

Mereka juga beratraksi dengan penuh penghayatan dan penjiwaan, seperti para pemeluk agama-agama monoteisme bertafakur.

Bedanya, Esala Perahera menampilkan pula kemegahan dan keriangan. Masalahnya adalah tahun ini festival keagamaan yang diselenggarakan sejak 10 Agustus itu, sulit mendapatkan gajah.

"Untuk penyelenggaraan sekarang kami hanya mampu menyediakan 70 gajah yang 15 diantaranya milik kuil," kata Gamini Bandara.

Salah satu atraksi baru dalam festival kali ini adalah pergelaran tari dari murid-murid sekolah dasar sampai menengah atas di 52 sekolah di seluruh Srilangka.

Mereka dilatih selama tiga bulan di Bulath Padaya, sementara kostum dan instrumen musik ditata dan disediakan Dalada Maligawa.

Kuil Dalada Maligawa sendiri, di luar kuil-kuil lain, mengalokasikan anggaran 42 juta rupee (Rp3,3 miliar) di mana 5,5 juta rupee (Rp442 juta) diantaranya untuk membeli 28 ton kopra, sebagai bahan bakar pawai api itu.

Pawai Gajah

Kesiapan itu sendiri dibalas tuntas oleh hadirnya atraksi seni yang megah, mempesona, gemerlap, dan majis di Kandy.

Buktinya, atraksi itu diapresiasi luas masyarakat Budha, turis dan undangan diplomatik, sementara media-media asing meliput acara ini dengan sama antusiastisnya.

Tujuhpuluh gajah didandani sedemikian rupa mengenakan "pakaian-pakaian kebesaran" yang semuanya diperkaya corak-corak seni busana khas Srilangka, selain berkorelasi dengan keagungan fungsi sang gajah.

"Mengapa gajah? Karena bagi umat Budha di negeri-negeri seperti Srilangka, India, Thailand, dan Myanmar, gajah itu suci," kata Philip Widjaja mencoba menerangkan alasan mengapa gajah menjadi aktor utama dalam festival itu.

Selama sekitar 5 jam --festival tahun-tahun sebelumnya umumnya lebih panjang-- warga Srilangka, wisatawan asing, dan perwakilan asing disuguhi eksotisme budaya negeri itu.

Ribuan penari dengan energik memainkan bola dan benang api, meliukliukkan tubuh dengan lincah dan lentur, sambil sesekali mengumandangkan ode dan rangkaian kidung liturgis.

Mereka muncul berkelompok, di mana setiap kelompok dipisahkan oleh pawai gajah-gajah berbaju megah, bagai biji besar yang membatasi jumlah tertentu dari untaian biji tasbih atau rosario.

Meski manuver para penari sedikit menjemukan, mengingat setiap grup menarikan gerak tari yang relatif sama, kostum mereka yang kaya warna dan demikian hidup, telah memupus kesan menjemukan itu.

Sementara gajah-gajah besar yang berjalan lamban dan berhiaskan pakaian-pakaian kebesaran warna warni, terus menjadi pusat perhatian massa, terutama gajah-gajah bergading besar nan panjang.

Meski Perahara tahun lalu menjadi festival pertama yang diadakan di jalan-jalan terbuka setelah takluknya Macan Tamil (LTTE), penyelenggaraan kali ini dipandang penting karena diadakan di tengah situasi politik yang jauh lebih damai dari sebelumnya.

Pawai 70 gajah dan ribuan penari tersebut sendiri ditujukan demi menghormati Gigi Suci Sang Budha dan memberkati Negara Pulau Srilangka dan penduduknya.

Tak pelak, gajah-gajah itu berhasil mengimbuhkan aura glamor pada festival yang mempertontonkan sejumlah aspek budaya menawan Srilangka, nama modern untuk negeri yang diperintah Raja Rahwana (Ravana) seperti disebut epos Ramayana. (*)

Pewarta: Jafar Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010