Jakarta (ANTARA) - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI mengatakan proses penyusunan kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) di suatu negara yang penuh dengan keberagaman seperti Indonesia bukan perkara mudah.
"Di negara yang multi-etnis, multi-agama dan multikulturalisme bukan lah suatu perkara yang mudah," kata Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej pada diskusi bertajuk "apakah pembaruan KUHP sudah berdasarkan konstitusi negara Republik Indonesia secara virtual di Jakarta, Kamis.
Setiap isu yang akan dibahas atau dituangkan dalam KUHP akan memunculkan pro dan kontra di tengah masyarakat, sebagai contoh isu pidana mati.
Secara teoritik dua paradigma akan berdiri dan berlawanan secara diametral. Bagi paradigma abolisionis yang ingin menghapus pidana mati mempunyai dasar argumentasi yang cukup kuat.
Sama halnya dengan kelompok yang menganut paham retensionis atau ingin mempertahankan pidana hukuman mati juga memiliki dasar argumentasi yang kuat.
Baca juga: Kemenkumham mengklarifikasi video penyidik KPK intervensi hakim
Baca juga: Kemenkumham sosialisasikan RUU KUHP di 12 kota
Ketika persoalan pidana mati dibahas maka tidak jarang terjadi kontroversi di tengah masyarakat. Bagi kalangan pegiat antikorupsi selalu menyuarakan koruptor layak dijatuhi hukuman mati.
Tetapi bagi kalangan atau pegiat HAM sudah pasti akan menolak pidana hukuman mati tersebut. Dalam kondisi itu, maka pemerintah terutama pemangku kepentingan harus bisa mencarikan solusi terbaik.
"Dimana pidana mati tidak menjadi pidana pokok tetapi pidana khusus," ujar dia.
Kekhususan yang dimaksud ialah pertama dijatuhkan secara selektif dan dijatuhkan dengan percobaan. Sebagai contoh terpidana dijatuhkan hukuman pidana mati, jika selama kurun waktu itu berkelakuan baik maka memungkinkan pidana mati diubah menjadi pidana seumur hidup atau kurungan penjara 20 tahun.
"Ini contoh membuat KUHP di negara multi-etnis, banyak kebudayaan dan banyak agama, tidak semudah membalikkan telapak tangan," ujar dia.
Baca juga: Wamenkumham: Pasal penghinaan presiden RKUHP tidak hambat demokrasi
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021